Skip to main content

Sesuatu yang Menghentikan Tangis Nailah

Hai Nailah..

Entah kapan kamu bisa baca tulisan ini sendiri. Seperti halnya Abang Gaza dan Aa Bilal, sepertinya Bunda juga tak akan menderasmu soal calistung di usia dini. Biar saja engkau mempelajarinya secara alami. Abang Gaza tepat di usia 4 sudah bisa membaca, sementara Aa Bilal huruf saja belum hafal. Eh tapi, dia lebih dulu hafal huruf Hijaiyah deng.. mungkin karena masa balitanya suka menyimak Bunda mengajar Abang Gaza jadi dia lebih dulu menguasainya.

Hehe, lanjut ya... Kita bukan sedang membahas pelajaran dan kemampuan membaca, kok :)

Bunda hanya mau cerita tentang kemanjaan yang kau tampilkan hari ini. Duh subhanallah, sejak habis Maghrib tadi, kamu nangis melulu dan minta gendong. It's okay, ibu mana sih yang tak mau menggendong buah hatinya, apalagi masih bayi... Tapi, tumben kerewelanmu tak berhenti dengan digendong kali ini. Kau kembali menangis. Oh ngompol, Bunda ganti dulu. Habis itu, lapar... Bunda susui dulu. Lalu, masih nangis. Sambil mengkakukan badan pula. Ya Allah, Bunda kaget. Ingat Abang Gaza waktu kolik dulu! Duh ya Allah, please jangan lagii...

Kolik
Nyaris delapan tahun lalu, Bunda dan ayahmu berkutat dengan kolik-nya Abang Gaza yang membuatnya jarang tidur. Ia lebih sering menjerit sambil badannya dibuat kaku seperti orang kejang. Huhuhuu, Bunda dan ayah yang masih sangat hijau tentang bayi saat itu, sibuk bertanya sana sini dan browsing (sebelum jadwal imunisasi tiba dan bertemu DSA).

Ada yang bilang itu ciri bayi lapar, sebaiknya kasih pisang. Yang ini kami gak percaya sama sekali. Dududuh, gimana nanti ususnya?

Lalu ada yang bilang, itu bayi liat jin. Ngajiin dong rumahnya. Well, masuk akal yg ini. Lalu kami pun meningkatkan frekuensi tilawah. Membacakan surat Al Baqarah. Tapi, episode jerit dan kaku serta jarang tidur itu tak juga berakhir. Hingga akhirnya kami menemukan kata kolik di majalah. Ini baru pas menggambarkan keadaan kakak pertamamu, Nak... Makanya kini, saat engkau melakukan hal yang serupa, Bunda kaget dan memohon pada Allah agar jangan memberikan hal ini padamu. Terbayang sakit dan lelahnya.

Engkau tetap menangis. Lapar sudah tidak. Popok pun bersih dan kering. Oh ya ampuun kenapa? Bunda mengayun-ayunkan kau dalam gendongan. Murojaah, shalawat, dzikir bunda lantunkan.

Lalu entah di menit keberapa, nyaris sejam rasanya saat Bunda mulai lelah dan nyeri punggung, bunda pun duduk di kasur menyandar ke tembok.

Bunda menangis sambil berdoa lirih,
Ya Allah, punggung aku sakit. Tolong hentikan tangis anakku.. takut nggak kepegang dan jatuh.
(Itu masih sambil diayun-ayun)

Terus aja Bunda berdoa, sambil menahan nyeri punggung dan tangan yang mulai kesemutan.

Allaahu Akbar Allaahu Akbar...
Azan isya berkumandang.

Dan zzaaapp!
Tangismu berhenti sama sekali. Drama membuat tubuh kaku pun berhenti. Tubuhmu melemas, bola matamu berputar seolah mencari sumber suara dengan sangat penasaran.

Itu azan, shaliha. Sudah isya.
Ucap Bunda.

Engkau mendengarkan azan dengan teramat khusyu. Lupa dengan tangismu. Lupa dengan apapun. Hingga Bunda bisa berhenti mengayun. Duduk bersandar saja.

Alhamdulillah.. terimakasih ya Allah.

Nak, buat orang lain ini mungkin hal biasa. Tapi untuk Bunda, ini tak biasa. Allah menunjukkan kuasa-Nya. Panggilan shalat membuatmu diam. Ah sungguh Bunda takjub dibuatnya. Diam-diam terselip doa di hati Bunda, semoga kelak engkau termasuk orang yang selalu shalat di awal waktu. Tak peduli apapun kesibukanmu nanti.

Ya, jika di usia jelang 4 pekan saja kau bisa melupakan tangismu yang sedang kencang-kencangnya, maka mengapa tidak bisa kau tinggalkan pekerjaanmu nanti demi memenuhi panggilan-Nya?

Penuh doa untukmu, shaliha...
Bunda <3

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu