Skip to main content

My Pandemic's Parenting (Pengasuhan Saat Pandemi)


Sudah 1,5 tahun pandemi melanda negeri ini. Selama itu pula ada banyak perubahan yang terjadi di dalam diri, keluarga maupun lingkungan kita. Tak terkecuali pengasuhan anak, di ranah ini ada beberapa hal yang mengalami perubahan. Dimana kita sebagai orangtua, khususnya ibu, harus cerdas menentukan sikap. Setidaknya gercep (gerak cepat) dalam beradaptasi dengan perubahan perilaku anak.


 School From Home (SFH), berdasarkan observasi dan survey pada sejumlah ibu melalui media sosial di akun pribadi saya, adalah momen yang konon menghadirkan perubahan terbesar dalam proses parenting.

Really?
Seberapa besar perubahan yang terjadi? Berdasarkan survey, setidaknya seperti ini :

1. Perubahan jam tidur anak
Anak-anak yang sebelumnya memiliki jam tidur rutin misalnya tidur siang sepulang sekolah dan tidur malam jam 9-10, rata-rata menjadi lebih malam (begadang) selama pandemi.

Disinyalir sebabnya adalah karena mereka tidak merasa lelah. Kalau biasanya setiap hari sekolah, belum kalau ada les tambahan, maka siang dan malam hari adalah waktu yang ditunggu-tunggu untuk beristirahat (tidur siang dan malam). Tapi karena selama pandemi mereka #diRumahAja maka sinyal ngantuk itu relatif melambat waktunya. 

Begadang ini efeknya bisa kemana-mana, lho. Terlambat bangun dan sholat shubuh, mundurnya waktu mulai dari sarapan hingga ke aktivitas lainnya sepanjang hari. Psst, termasuk ke mood ibu juga.

2. Perubahan aktivitas harian
Dimulai dari pagi hari. Anak-anak yang terbiasa bangun pagi hanya karena mau pergi sekolah, biasanya akan sulit dibangunkan saat sekolah libur atau School from Home. Mereka menganggap banyak aktivitas yang bisa 'dipangkas' terutama waktu di perjalanan. Tidur lagi tentu tak masalah, kan nggak harus jalan. 

Demikian rata-rata pemikiran anak-anak. Bahkan kadang ada yang skip mandi dan sarapan. Tak hanya pagi, aktivitas siang pun tak sedikit yang berubah. Tidur siang misalkan, karena tak merasa lelah beraktivitas, juga ikut di-skip. Sore dan malam pun demikian. 

3. Adanya xtra screen time (TV dan gadget)
Tidak ke sekolah, tak juga boleh main di luar rumah, membuat anak-anak bosan. Apalagi kalau tak memiliki fasilitas bermain yang cukup menarik atau tidak punya teman main (anak tunggal). Akibatnya gadget dan TV bisa menjadi pelarian utama. Karena di situ mereka bisa main games, chatting dengan teman dan aktivitas lainnya.

4. Perubahan pola makan
Berkurangnya aktivitas sekolah membuat anak punya banyak waktu untuk eksplorasi rumah. Dapur adalah salah satu tempat yang menarik untuk diintip. Bolak-balik lihat isi kulkas dan meminta snack tambahan akhirnya tak terelakkan. Untuk para orangtua yang bisa memasak, akan ada kudapan homemade yang bisa memuaskan mereka. Jika tidak, mereka bisa jadi menuntut jajanan.

5. Kurang olahraga outdoor
Anak-anak terbiasa berenang, basket, futsal atau olahraga beladiri rutin? Di masa pandemi, demi keselamatan sebagian orangtua menghentikan kegiatan rutin tersebut. Beberapa penyelenggara kursus berenang dan les olahraga lainnya juga tak sedikit yang memilih menghentikan kegiatannya. Akibatnya, anak jadi kurang olahraga. Apalagi jika lingkungan sekitar tak cukup nyaman untuk sekadar bersepeda.

6. Perubahan gaya bersosialisasi
Say hi, makan bareng sampai belajar kelompok yang biasanya dilakukan di luar rumah (sekolah atau bersama tetangga) secara langsung, kini berubah menjadi via gadget. Anak-anak yang sudah memiliki gadget sendiri biasanya menghabiskan waktu mereka di messenger atau app chatting lain. Juga di arena games online.

7. Memicu sikap mudah curiga atau sebaliknya tak peduli
Menjaga jarak dengan orang lain di luar rumah tentu baik adanya. Memang seperti itu anjurannya, bukan? Guna mencegah dan meminimalisir penularan virus. Tapi kondisi ini juga mau tak mau bisa membuat anak menjadi mudah curiga. Ada yang batuk saat bertemu di warung, anak langsung ketakutan. Atau sebaliknya, di sisi ekstrim lainnya bisa juga terbentuk anak yang apatis. Tak peduli dengan kondisi pandemi. ini biasanya meniru perilaku orangtuanya.

Dari beberapa poin di atas, mau tidak mau yang terkena imbas pertama adalah para orangtua, khususnya ibu. Dikatakan khususnya, bila selama ini yang banyak berperan dalam pengasuhan adalah ibu, dikarenakan ayah bekerja di kantor. 

Para ayah yang terbiasa bekerja di kantor dan bertemu hanya pagi dan malam dengan anak-anaknya juga pasti ada shock tersendiri.

Bagaimana dengan ibu bekerja? Bagi ibu bekerja yang harus WFH (Work From Home), ini juga menjadi sebuah momen yang membutuhkan banyak sekali adaptasi yang tak mudah. Belum lah jika ditambah adanya pengurangan salary akibat pandemi, atau bahkan PHK. Huffft!

Inhale ... exhale ... inhale ... exhale!

Bu, tenangkan diri sejenak. Yakinlah, Anda nggak sendiri menghadapi semua ini. Ini masalah kita bersama.

Yang pertama harus kita sadari adalah bahwa pandemi ini adalah takdir Allah. Sebagai orang beriman, tentu kita harus menerimanya. Dan tekankan ini pada anak-anak. 

Berharap anak-anak langsung paham, lalu beradaptasi dengan cepat memang bukan perkara mudah. Kita pun sebagai orangtua tentu butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Yang terbiasa bekerja seharian di kantor menghadapi klien dan atasan, kini menghadapi anak-anak seharian sambil tetap bekerja pula. Atau yang lebih buruk adalah, jika terbiasa bekerja lalu terkena PHK/bangkrut dan sulit mendapatkan pekerjaan atau memulai bisnis kembali.

Yang kedua, setelah menyadari bahwa ini takdir, ujian yang harus dilalui, maka upayakan agar diri tetap waras. Itu penting! Lakukan hal-hal yang bisa menjadi mood booster. tentu setiap orang beda, ya. Ada yang suka baca buku, maraton nonton drakor, belanja online, curhat dengan sahabat atau kalau mau cari inspirasi bisa di portal ibupedia.com yang konten-kontennya inspiratif banget. Do it!

Poin-poin di atas sudah terasa berat, ya? Masih ada lho yang lebih berat, yaitu jika salah satu atau seluruh anggota keluarga terpapar virus. Tak ada yang lebih mudah di antara keduanya. Jika salah satu yang terpapar, tentu harus diisolasi dari anggota keluarga lainnya. Sisi positifnya, salah satu (yang sudah yakin tak terpapar melalui tes antigen) bisa keluar untuk membeli bahan makanan dan kebutuhan keluarga lainnya. Jika semuanya terpapar, maka tak ada jalan lain selain saling menguatkan sesama anggota keluarga. Mintalah tolong pada kerabat atau tetangga untuk membelikan kebutuhan sehari-hari, yang pembayarannya bisa dilakukan dengan m banking. Oya, jangan lupa lapor pada Rt/Rw ya.

Dan yang terburuk dari pandemi ini adalah jika salah satu anggota keluarga berpulang pada Yang Mahakuasa. Kehilangan, bagaimanapun bukanlah suatu hal yang bisa dipersiapkan dengan baik meski berlatih sekian lama. Ada banyak hal yang akan berubah selanjutnya. Duka mendalam tak bisa selesai dalam hitungan hari. Di sini kita membutuhkan support dari orang lain.

Ah, sungguh pandemi ini tak mudah. Tak seorangpun dari kita memiliki kuasa untuk menghentikannya. Yang paling memungkinkan untuk dilakukan adalah beradaptasi dengannya. Lakukan ikhtiar terbaik untuk mencegahnya. Jika sudah terpapar, jangan menyalahkan diri atau orang sekitar. Terima saja dan lakukan upaya pengobatan sesuai saran dokter.

Well kembali pada poin pengasuhan,  setidaknya ada 3 hal yang bisa dilakukan:

1. Menerima apa yang tak mungkin diubah
Misalnya terkait kematian salah seorang anggota keluarga. Anak-anak harus diberi waktu untuk berduka, selanjutnya mengatur strategi kedepannya.

2. Mengubah apa yang mungkin 
Ini terkait kebiasaan buruk misalnya anak yang mendadak kecanduan gadget. Orangtua sebaiknya menyediakan fasilitas bermain atau buku-buku. Meski sebetulnya itu bukanlah yang utama. Anak-anak membutuhkan kehadiran orangtuanya terlebih dalam situasi sulit pandemi. Maka luangkanlah waktu bersama. Kerjakan pekerjaan kantor/rumah lebih awal sebelum mereka bangun di pagi hari. Lelah? Tentu saja. Tapi untuk kebaikan bersama, memang harus ada yang dikorbankan.

3. Lebih peka untuk bisa membedakan poin kesatu dan kedua
Ini berbeda untuk setiap orang. Ada keluarga yang jika salah satunya di-PHK akan mudah mendapatkan pekerjaan atau memulai bisnis baru sehingga tak menjadi masalah besar. Ada pula keluarga yang harus berjuang mati-matian jika penghasilan terhenti karena PHK atau bangkrut. Maka jangan pakai prinsip 'Kalau orang lain bisa maka aku pasti bisa'. Kita tidak memakai sepatu yang sama, bukan?

Di akhir tulisan ini, izinkan saya secara pribadi memeluk erat semua ibu yang sudah bekerja ekstra keras menghadapi pandemi. Ini sangat sulit, saya paham. Mari kita berpelukan dan saling mendukung. Hentikan dulu segala jenis mom war mulai dari ASI vs Sufor sampai Ibu bekerja VS ibu rumahtangga.

Lihat ke sekeliling kita. Jika masih memiliki kemampuan, maka berbagi lah dengan mereka yang terdampak. Ini bisa diajarkan pada anak-anak. Pupuk empati mereka agar bisa memahami kesulitan/penderitaan orang lain. 

Jika berada di posisi yang kurang beruntung, maka kuatkan diri dan anak-anak. Berdoalah memohon yang terbaik sambil berikhtiar mengeluarkan segala kemampuan diri seperti memasak, menulis, menjahit dan lainnya yang tidak pernah terpikirkan selama ini. Ajarkan anak-anak untuk survive dalam situasi sulit. Ya, kita mungkin kekurangan uang sehingga belanja akan makanan, pakaian tak bisa seperti sebelumnya. Tapi yakinkan mereka bahwa ini smua akan segera berlalu. Bukankah Allah tak akan memberi ujian melebihi kemampuan hamba-Nya?

Tarik napas panjang, tahan, lalu hembuskan. Yakinkan diri bahwa ini akan berlalu dan kita akan keluar sebagai pribadi yang lebih tangguh atas izin-Nya.

Salam hangat,
Pritha Khalida 

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu