Skip to main content

Anak Adalah Hak Prerogatif Allah


Hufft ... akhirnya, bisa duduk juga!
Di penghujung senja sekitar 5 tahun yang lalu, saya nyaris selalu kelelahan. Bagaimana tidak, menjalani hari bersama dua anak lelaki lincah plus satu bayi di dalam kandungan, rasanya melelahkan sekali.

Kondisi yang nyaris selalu membuat saya menumpahkan berbagai keluhan kepada suami saat ia pulang kantor.

Hingga suatu saat, seorang sahabat menelepon.

"Pritha, hikss ... Kenapa perempuan selalu disalahkan? Disudutkan?"

"Bentar, pelan-pelan, ada apa?"

Mengalirlah satu cerita yang mengiris hati dari mulutnya. Tentang betapa ia nyaris selalu disalahkan oleh beberapa saudara suaminya karena tak kunjung memiliki momongan setelah nyaris sepuluh tahun pernikahan.

Soal ia yang sibuk meniti karir lah sampai perkara ketidaksukaannya pada sayur-mayur. Semua itu diklaim sebagai faktor penyebab dirinya tak juga dikaruniai keturunan.

Saya sungguh tak berani menyarankan ia untuk bersabar. Nyaris 10 tahun menikah dan belum dikaruniai momongan, bukankah bisa tetap waras saja sudah merupakan satu bentuk kesabaran yang besar?

"Allah akan kasih, di waktu yang tepat, insya Allah. Mungkin sekarang Allah pengen liat kalian berdua dulu. Atau masih senang liat kalian bolak-balik panti asuhan mencurahkan kasih sayang buat anak-anak dhuafa." Begitulah kurang lebih jawaban saya.

"Bunda udaah!" Tiba-tiba terdengar pekik si nomor dua dari kamar mandi.

"Eh udah dulu ya, tar kita telponan lagi." Saya mematikan ponsel.

Setelah memakaikan celananya, notifikasi WA berbunyi.

[Kapan ya gue bisa denger anak kecil teriak minta dicebokin? Ngejar-ngejar anak pakai baju, manggilin anak sore-sore buat pulang dari main, nganter sekolah, atau bikinin bekal buat dia sekolah? Gue suka baca cerita-cerita lo tentang anak-anak. Seru-seru, masya Allah. Kadang rasanya itu anak-anak gue, lho! Mungkin saking gue menghayati ya?]

Saya terdiam. Merasa bersalah. Boleh jadi di atas kerepotan atau kebahagiaan yang tertuang melalui tulisan saya di medsos, hatinya terluka. Bahkan bukan cuma dia, tapi banyak para #PejuangGarisDua lainnya.

Tapi, saya menulis kan sekadar untuk kenang-kenangan. Sungguh tak ada niat pamer, ujub atau semacamnya.

Astaghfirullahaladzim ... Faghfirli, ya Rabb.

Selang beberapa waktu kemudian, ia menelepon. Kali ini ia bercerita bahwa baru saja pulang dari dokter. Setelah sekian lama, akhirnya berhasil membawa suaminya ikut periksa kondisi kesehatan, terutama yang berhubungan dengan fertilitas.

Sesuai dugaan dokter, rupanya memang ada sedikit masalah dengan kondisi kesehatan suaminya, yang menyebabkan mereka sulit memiliki keturunan. Tapi masih bisa disembuhkan dengan obat dan terapi, ia melanjutkan.

"Bismillah ya, gue doain semoga segera sembuh. Allah karuniakan bayi lucu segera, kembar sekaligus kalau perlu." Tulus betul doa itu mengalir untuknya.

Ia mengaminkannya berulangkali diiringi ucapan terimakasih.

Oya, satu yang saya salut, ia tak berniat memberitahukan keluarga suaminya perkara ini. Untuk menjaga marwah sang suami katanya. Duh, masya Allah. Sungguh perempuan berjiwa besar.

Tahun demi tahun berlalu. Hitungan belasan tahun pernikahan pun tiba untuk mereka.

Suatu hari ia menelepon. Nyaris tanpa suara. Hanya isak yang ada.

"Gue keguguran, Prith."

Hah? Saya bahkan tak tahu mengenai kehamilannya. Ya, dia memang sengaja belum mau mengabarkan pada siapa-siapa sebelum genap 4 bulan. Pamali katanya.

Dan Allah sepertinya sedang mengujinya kembali, di usia kehamilan 3 bulan, janin di perutnya diambil kembali. Saya tak tau alasannya, tak pula berani bertanya. Hanya bilang, jika ada yang bisa saya bantu, tak usah sungkan.

Sempat pasca ia keguguran, beberapa waktu saya tak pernah menulis tentang anak-anak di medsos. Tapi rupanya ia sadar dan bertanya, "Anak-anak apa kabar? Kok gue gak pernah baca postingan lo tentang mereka lagi sih?"

Saya jawab saja sejujurnya. Eh tanpa diduga ia malah bilang, "Ngaco! Mana mungkin gue bete baca kebahagiaan lo. Yang ada gue ikut seneng elo bahagia. Saat anak-anak rempong dan elo kewalahan pun, gue seneng bacanya. Anggap aja ilmu kalau suatu saat Allah kasih gue kesempatan untuk bisa hamil lagi."

Begitulah, hingga saat ini, sahabat saya itu belum pula dikaruniai momongan. Usia pernikahannya sudah nyaris lima belas tahun.

Mereka tetap berdua. Merenda cinta dengan bepergian ke berbagai tempat. Foto-fotonya mesra sekali, seolah dunia milik berdua saja. Tak pernah sedikitpun ada keluh dalam setiap caption yang ia tulis, tentang kesulitannya memiliki momongan. Yang ada hanya keceriaan.

Lagi-lagi saya salut dengannya.

Sungguh, dari hati terdalam, saya mendoakan ia segera dikaruniai keturunan yang sehat sempurna dan kelak menjadi generasi penerus yang shalih/shaliha.

Kawan, anak adalah hak prerogatif Allah yang sama sekali tak bisa kita ganggu-gugat atau campuri kehendak-Nya.

Segala logika atau ilmu pengetahuan update pun bisa terpatahkan jika terkait masalah ini. Mau promil secanggih apapun, jika Allah belum berkehendak, maka tak akan jadi.

Namun tetap, jangan pernah putus asa. Ikhtiar lah sesuai batas kemampuan. Sahabat saya bilang, ikhtiar itu sebaiknya ditujukan karena Allah, bukan karena ketidaknyamanan atas dorongan orang lain atas pertanyaan-pertanyaan, "Kapan punya anak?" atau "Masih betah berdua aja, nih?"

Teruntuk kalian para #PejuangGarisDua semangat ya! Semoga Allah selalu limpahkan kasih sayang-Nya. Rezeki diganti berlimpah dari sisi lain.

Dan selalu yakin, kalau Allah pasti Maha tau yang terbaik.

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu