Feels like Home
Sepanjang jalan dari Bandung semalam, saya udah kaya penyiar radio yang reportase segala kisah selama Coaching n Workshop #InspirePsychology Jumat-Ahad lalu.
Suami dengerin tanpa protes sedikitpun. Padahal dari hari pertama juga setiap malam saya udah cerita. Mungkin berguna juga mencegah dia ngantuk.
Intinya adalah, Feels like home. Ya, kegiatan itu bikin saya merasa kaya 'di rumah', baik materi maupun lokasi.
Bandung, kembali ke kampung halaman yang menguak kembali banyak kenangan. Sementara Psikologi, adalah subjek yang saya suka sejak kecil, sejak mengenal rubrik itu di tabloid langganan ibu saya. Sampai sejak saat itulah saya bilang mau jadi Psikolog.
Ibu saya terdiam. Mungkin bagi beliau belum umum anak kelas 2 SD di masa itu ingin jadi psikolog. Tahun 90an profesi yang keren dan banyak dipilih anak-anak itu kan antara dokter, tentara, presiden, insinyur, pilot dan pramugari, betul?
Tapi ya Ibu saya mengaminkan saja, "Belajar yang baik, biar bisa jadi penulis dan psikolog."
Saya pun tumbuh dengan buku-buku bertema psikologi.
Makanya, sesusah apapun kuliah psikologi yang saya tempuh dulu, nggak pernah menyurutkan langkah untuk terus maju. Biarin aja IPK pas-pasan, yang penting saya paham betul meski tak semua mata kuliah.
Dan kemarin, seolah dejavu. Saya kembali merasakan kesulitan menerima materi-materi psikologi yang cukup berat. Apalagi Ustadz Aad tak hanya memaparkan teori, tapi juga kaidah ontologi, epistemologi dan aksiologinya. Rabbana ...
Asli saya nggak ngerti, apalagi pas beliau membagi kelompok dan memasukkan saya di kelompok para profesional (psikolog, konselor, guru BK). Disuruh bahas Sistem Pendidikan. Apaan ini, hiks!
Tapi saya ingat, bukankah Allah tak akan menguji hamba-Nya melebihi kapasitasnya? Artinya saya dianggap mampu duduk semeja dengan mereka yang hebat-hebat. Saya dikasih kesempatan untuk tak selalu berada di 'zona nyaman' parenting. Dikasih tanda kutip, karena apanya yang nyaman, Bestie? Itu juga udah megap-megap. Apalagi prakteknya ke anak 3, Faghfirli ya Rabb.
Jadi saya maju aja, nikmati semua prosesnya. Something doesn't kill you will make you stronger, ceunah.
Saya nikmati juga meski disuruh nulis tangan di kertas HVS dalam waktu terbatas.
Minimal 1 halaman HVS ... siap!
2 halaman ... siap juga!
3 halaman ... siaaap!
Lalu pingsan, hahaha.
Enggak deng becanda. Di mana teman-teman pada bilang, pasti gampang nulis buat seorang penulis kaya saya. Ya gampang, kalau ngarang bebas mah. Kalau full teori ya enggak laah.
Alhamdulillah ya, semua tantangan berhasil diselesaikan. Terlepas dari hasilnya apakah sudah benar atau belum, baik atau kurang, mari apresiasi diri yang sudah berani maju menghadapi semua. Kuliah boleh sudah lewat belasan tahun, tapi otak tak boleh tumpul. Apalagi beberapa teman di sana mendoakan tulus agar saya bisa jadi psikolog. Soalnya pada manggil Bu psikolog. Saya anggap aja itu doa, betul kan?
Sepanjang jalan dari Bandung semalam, saya udah kaya penyiar radio yang reportase segala kisah selama Coaching n Workshop #InspirePsychology Jumat-Ahad lalu.
Suami dengerin tanpa protes sedikitpun. Padahal dari hari pertama juga setiap malam saya udah cerita. Mungkin berguna juga mencegah dia ngantuk.
Intinya adalah, Feels like home. Ya, kegiatan itu bikin saya merasa kaya 'di rumah', baik materi maupun lokasi.
Bandung, kembali ke kampung halaman yang menguak kembali banyak kenangan. Sementara Psikologi, adalah subjek yang saya suka sejak kecil, sejak mengenal rubrik itu di tabloid langganan ibu saya. Sampai sejak saat itulah saya bilang mau jadi Psikolog.
Ibu saya terdiam. Mungkin bagi beliau belum umum anak kelas 2 SD di masa itu ingin jadi psikolog. Tahun 90an profesi yang keren dan banyak dipilih anak-anak itu kan antara dokter, tentara, presiden, insinyur, pilot dan pramugari, betul?
Tapi ya Ibu saya mengaminkan saja, "Belajar yang baik, biar bisa jadi penulis dan psikolog."
Saya pun tumbuh dengan buku-buku bertema psikologi.
Makanya, sesusah apapun kuliah psikologi yang saya tempuh dulu, nggak pernah menyurutkan langkah untuk terus maju. Biarin aja IPK pas-pasan, yang penting saya paham betul meski tak semua mata kuliah.
Dan kemarin, seolah dejavu. Saya kembali merasakan kesulitan menerima materi-materi psikologi yang cukup berat. Apalagi Ustadz Aad tak hanya memaparkan teori, tapi juga kaidah ontologi, epistemologi dan aksiologinya. Rabbana ...
Asli saya nggak ngerti, apalagi pas beliau membagi kelompok dan memasukkan saya di kelompok para profesional (psikolog, konselor, guru BK). Disuruh bahas Sistem Pendidikan. Apaan ini, hiks!
Tapi saya ingat, bukankah Allah tak akan menguji hamba-Nya melebihi kapasitasnya? Artinya saya dianggap mampu duduk semeja dengan mereka yang hebat-hebat. Saya dikasih kesempatan untuk tak selalu berada di 'zona nyaman' parenting. Dikasih tanda kutip, karena apanya yang nyaman, Bestie? Itu juga udah megap-megap. Apalagi prakteknya ke anak 3, Faghfirli ya Rabb.
Jadi saya maju aja, nikmati semua prosesnya. Something doesn't kill you will make you stronger, ceunah.
Saya nikmati juga meski disuruh nulis tangan di kertas HVS dalam waktu terbatas.
Minimal 1 halaman HVS ... siap!
2 halaman ... siap juga!
3 halaman ... siaaap!
Lalu pingsan, hahaha.
Enggak deng becanda. Di mana teman-teman pada bilang, pasti gampang nulis buat seorang penulis kaya saya. Ya gampang, kalau ngarang bebas mah. Kalau full teori ya enggak laah.
Alhamdulillah ya, semua tantangan berhasil diselesaikan. Terlepas dari hasilnya apakah sudah benar atau belum, baik atau kurang, mari apresiasi diri yang sudah berani maju menghadapi semua. Kuliah boleh sudah lewat belasan tahun, tapi otak tak boleh tumpul. Apalagi beberapa teman di sana mendoakan tulus agar saya bisa jadi psikolog. Soalnya pada manggil Bu psikolog. Saya anggap aja itu doa, betul kan?
Comments
Post a Comment