Skip to main content

Bersyukurlah Tanpa Perlu Pembanding



"Bunda, temen Gaza, anak kelas sebelah, ada yang kayaa banget. Tiap hari uangnya ratusan ribu di dompetnya. Dia juga punya ATM yang mesinnya ada di gerbang sekolah."

"Wow masyaa Allah."

"Tadinya Gaza iri."

"Trus?"

"Tapi pas dia cerita kalau dia broken home, Gaza jadi kasian."

"Broken home, cerai?"

"Iya, trus papa mamanya udah pada nikah lagi. Jadi kadang dia di papanya, kadang sama mamanya. Dia ma lakin papa kandungnya, mama tirinya, mama kandungnya, papa tirinya."

"Ya bukan mal ak atuh, Bang. Kan memang kewajiban orangtua ngasih uang, apalagi kl anaknya blm baligh."

"Dia kok yang bilang ma lak."

"Oh ..."

"Sedih ya, Bun?"

"Dia sedih?"

"Nggak tau, keliatannya sih enggak. Tapi kan nggak tau beneran enggak atau dia pura-pura. Tapi kalau Gaza kayanya sedih deh kalau Ayah di mana, Bunda di mana. Trus ada papa baru, mama baru. Makanya Gaza jadi mikir, gak papa lah uang jajan Gaza gak sebanyak dia. Tapi masih punya Ayah Bunda yang ada di rumah. Alhamdulillah."

"Udah gak iri?"

"Gak."

"Kita gak tau, Bang. Boleh jadi dia memang betulan seneng. Makanya pisah, mungkin pas masih bareng malah sering beran tem. Kasian juga kan anaknya kalau denger orangtua sering berantem? Nah pas udah pada punya suami sama isteri yang baru, mungkin udah gak berantem lagi."

"Oia ya bisa jadi."

"Bunda seneng ini bisa bikin Gaza bersyukur atas apa yang dimiliki. Tapi jangan pernah juga merasa kita lebih baik dari orang lain karena suatu hal yang kita rasa lebih sempurna dari mereka. Bersyukur aja tanpa perlu membandingkan diri dengan orang lain."

"Maksudnya?"

"Allah makasih orangtuaku masih lengkap. Dah cukup sampai di situ. Gak usah ditambahin, gak kaya si x yang orangtuanya udah pisah. Karena kita nggak tau, bisa jadi si x setelah orangtuanya pisah itu jadi lebih baik, lebih sehat, lebih shalih."

"Oh iya juga ya."

"Bersyukurlah tanpa perlu melihat ke bawah atau ke atas. Tanpa perlu membandingkan hidup dengan orang lain. Apalagi merasa lebih baik. Kita smua punya tugas dan ujian masing-masing."

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu