Skip to main content

Energi Tenang


Pagi ini ada drama yang cukup tragis di rumah. Si nomor dua menjerit histeris saat ayahnya membuka perban atas lukanya.

"Maaf Bil, harusnya tadi pakai air dulu, Ayah lupa."

Tapi permintaan maaf itu seolah tak berarti, mungkin karena perih lebih dahsyat rasanya. Lebih terasa berdenyut saat ia mandi dan terkena sabun. Jadilah tak bisa dihindari, anak itu menjerit sepanjang di kamar mandi.

Sekeluarnya dari kamar mandi, Ayahnya menghampiri, "Maaf ya ... Yuk ayah pakein perban baru. Atau nggak pakai perban aja? Biar cepat kering lukanya.

Masih diselimuti kesal, ia menghindari Ayahnya sambil terus menangis dan menjerit.

Ayahnya terpancing emosi, "Terus Bilal maunya gimana?!"

"Bundaaa!" Jeritnya makin menjadi.

"Makan dulu."

"Nanti pasangin perban."

"Iya."

"Yuk Bil, sama Ayah aja, Bunda lagi masak."

"Gak mau! Mau sama Bunda aja!" Ia membalas judes.

"Emang sama Bunda diperbanin gimana sih? Kan sama aja."

"Gak, beda!"

Padahal dalam hati, sejujurnya saya mikir keras, gimana caranya pasang perban tanpa jeritan? Bukan cuma jeritan anak, tapi juga saya yang phobia darah.

Akhirnya ia sarapan. Sementara sang Ayah menyiapkan motor, bersiap mengantar Abangnya yang memang masuk lebih pagi.

"Kenapa Ayah marah?" Itu kalimat pertama yang meluncur dari mulutnya.

"Marah?"

"Iya pas Bilal jerit tadi, kenapa Ayah marah? Teriak nanya, 'Bilal maunya gimana?' Harusnya kan Bilal yang marah. Perihnya kan gara-gara Ayah."

"Harusnya tidak ada yang marah, baik Bilal maupun Ayah. Itu kan tidak sengaja."

"Tapi kan Bilal yang ngerasa perih."

Saya menghela napas, "Dengar, nggak semua orang memiliki kemampuan untuk tetap tenang saat ada masalah atau kekacauan. Tadi itu Bilal teriak, suasana kacau. Ayah lagi bantu Abang menyiapkan urusan sekolah dan manasin motor. Ayah bingung harus gimana. Mungkin karena Ayah laki-laki, jadi pikirannya fokus. Kalau ada yang mengacaukan fokusnya, nggak mudah buat Ayah untuk tetap tenang."

"Bunda juga lagi masak, nyiapin kudapan sama bekal. Bisa tetap tenang?"

"Mungkin karena Bunda perempuan. Perempuan itu kabel otaknya saling nyambung, saling on. Jadi ada masalah di sana, bisa tetap fokus di sini."

"Berarti Bunda hebat, dong?"

"Enggak juga."

Saya berhenti sejenak, menyuapi anak itu. Emosinya mulai reda.

"Setiap orang punya kekurangan dan kelebihan. Bunda mungkin bisa tetap tenang saat ada masalah. Tapi ya itu, cuma tenang. Habis itu mesti ngapain dulu, Bunda bingung. Biasanya ini bagian Ayah. Setelah dia kembali tenang, Ayah yang merumuskan kita mesti ini dulu, lalu itu dan seterusnya. Kenapa? Karena untuk tetap tenang itu juga butuh energi."

"Diem aja juga butuh energi?"

"Badannya mungkin diem, tapi pikiran sama hatinya kan enggak. Terus berdzikir, menenangkan diri."

"Oh."

"Coba Bunda liat lukanya ... Oh ini mah sudah mau kering, nggak diperban lebih baik."

"Tadi juga Ayah bilang gitu."

Saya menyolek sedikit ludah ke lukanya sambil membaca doa. Anak itu menjerit, "Periih, Bun!"

"Insya Allah akan segera sembuh."

Ayahnya datang.

"Udah siap ya? Diperban?"

Dia menggeleng, masih ngambek.

"Maafin Ayah ya?"

Dia diem aja.

"Ayah anter ya?"

Dia menggeleng, menyiapkan sepedanya.

"Kempes sedikit, Ayah pompa dulu ya?"

Baru kali ini dia mengangguk.

"Tuh kan, Ayah punya solusi. Bunda mana terpikir urusan pompa?"

"Iya sih," jawabnya pelan.

Akhirnya anak itu pamit setelah mencium tangan saya. Saya balik mencium tangannya.

"Ngapain Bunda cium tangan Bilal?"

"Tangan calon ulama."

Senyumya sedikit merekah.

"Tapi jangan gampang ngambek. Ulama harus bisa mengendalikan emosi."

"Iya, daah Bunda. Assalamualaikum!"

"Wa 'alaykumussalam."

Masya Allah tabarakallah ...

Sungguh tak mudah mendidik dan mengasuh anak di masa mereka kecil. Tapi saya tau, jika saya gagal saat mereka masih seusia ini, kesananya pasti akan jauh lebih sulit.

Mendadak teringat berita semalam, seorang Ibu yang yang melapor ke polisi karena diancam oleh anaknya, setelah sebelumnya memviralkan video ancaman si anak. Naudzubillahimindzalik...

Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu