Skip to main content

Akhir Pekan Bersama Calon Ulama



"A, liat ada kucing gendong anaknya, digigit lho!" tunjuk saya saat kami di kedai ketoprak.

"Norak banget, sih." Tanpa diduga, begitu responnya.

Mau kaget, tapi udah biasa. Si nomor dua memang paling spontan tanpa tedeng aling-aling kalo ngomong.

Saya terbiasa membawa salah satu anak kalau mau belanja di akhir pekan yang tujuannya gak cuma satu. Ke tukang buah, tukang sayur, minimarket dll. Tujuannya biar punya waktu spesial dengan mereka. Bisa ngobrol yang baiknya gak didengar sama saudara yg lain.

Pekan ini giliran si nomor dua.
Kalau dengan si sulung, dia akan memanfaatkannya dengan curhat segala yg dialami di sekolah, lain dg yg ini. Anak ini lebih banyak mengamati lingkungan sekitar dengan seksama, kalau bisa langsung dicoba.

"Mau beli pastel!"

"Mau nyoba ambil uang di ATM!"

"Pulangnya mau naik angkot!"

"Deket gitu, Aa. Ntar ke dalam kompleks tetap jalan kaki."

"Ya biarin, selama di sini belum pernah naik angkot."

"Yess, akhirnya Bilal naik angkot di sini!"

Saya juga senang, krn angkotnya kosong dan sopirnya sudah cukup berumur. Sepi penumpang di akhir pekan, sungguh bukan kabar baik. Tercukupi kah setoran? BBM? Yang terpenting, sisa tuk dibawa pulang, adakah?

Saat sopir angkot hendak memberi kembalian, saya menolak. Tampak beliau berterimakasih.

"Kenapa Bunda gak mau dikasih kembalian?"

"Beberapa ribu buat bapak itu jauh lebih berarti daripada di tangan kita."

"Maksudnya, buat Bunda beberapa ribu itu gak penting?"

"Ya bkn gitu, kita punya lebih dari itu, kan?"

"Oia ya, apalagi kalau Bunda kasih sejuta, gak minta kembalian."

"Di dompet Bunda gak ada segitu."

"Coba kita kaya ya, set seet kasih sedekah banyak ke orang-orang miskin."

"Aamiin."

Bruuk!

Anak itu jatuh di tangga trotoar. Saya spontan mengoleskan ludah ke lututnya sambil berdoa. Enggak tau dmn ilmiahnya, udah turun-temurun begini. Mungkin yang manjur doanya.

"Ih bau nanti!"

"Insya Allah cepet sembuh."

Begitulah, semoga kelak setelah jadi ulama, dia mengingat semua ini dan mengisahkannya pada jamaah, sebagai bagian dari kenangan manis masa kecilnya.

Pritha Khalida,
Grateful Mom 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu