Skip to main content

Reward



Pekan lalu si nomor dua nangis minta gak mau sekolah karena ada ujian lisan dan dia belum hafal ayat-ayatnya.

Saya memotivasinya panjang lebar, supaya dia tetap masuk. Contohlah Bilal bin Rabah, tetap tenang dengan kekuatan Tauhidnya, meski kezhaliman terus berlangsung atas dirinya. Karena dia yakin, Allah tak kan meninggalkannya. Kalaupun harus wafat, surga menanti. Masa kalah cuma karena takut ujian lisan?

Hingga akhirnya dia semangat sambil menyelipkan doa
"Semoga kebagian nomor urut belakangan, jadi bisa belajar dulu."

"Hebat! Kalau nilainya bagus, Bunda belikan lanjutan buku Shalahudin Al Ayubi, ya."

"Bagus itu berapa?"

"Di atas 80."

"Kalau dapat 100, boleh beli sampai jilid ke-6 nya?"

"Boleh insya Allah."

Siang harinya ia pulang dengan wajah cerah.

"Bisa?"

"Kebagian no urut belakangan, ujian lisannya nanti senin sama beberapa orang temen yang juga belum, keburu abis waktunya."

"Wah pas banget, doanya dikabulkan Allah."

Dari situ anak itu berjuang menghafal. Diem di pojokan kamar, mengulang-ngulang ayat dan arti dalam materi yang akan diujikan.

Senin pun tiba. Sambil sarapan mulutnya komat-kamit. Bada shubuh yang biasanya bisa ketiduran lagi, bahkan di sofa sekalipun, kali ini tidak. Dia komat-kamit, entah mengulang materi atau berdzikir. Saya nggak berani ganggu.

Kemarin ayahnya telat jemput karena sibuk dengan pekerjaannya, baru bisa ke sekolah setengah jam kemudian. Anak itu nggak ada di kelas. Dicari-cari rupanya di masjid sekolah, lagi tilawah.

(Video candid tilawahnya ada di story)

Wajahnya demikian riang menyampaikan bahwa ujian lisannya dapat 💯

Masya Allah ... Sebagai Ibu, jujur saja haru memenuhi dada ini.

"Shalahudin Al Ayubi sampai tamat ya, Bun? Janji kan?"

Baik, janji akan segera ditunaikan. Terimakasih Aa. Semoga bukan cuma hafal tapi meresap sampai ke hati dan tampak dalam perilaku.

Pritha Khalida
Penuh syukur pagi ini, alhamdulillah

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu