Skip to main content

Saat Anak Gadis Diam-diam Punya Pacar


Tempo hari ada seorang ibu yang japri bertanya, "Gimana cara ngelarang anak pacaran?"

Saya mengendapkan pertanyaan itu sejenak. Alih-alih langsung menjawab, saya tanyakan, anaknya usia berapa? Perempuan atau laki-laki? Saat ini sedang tahap 'kayanya punya pacar' atau sudah 'terindikasi punya pacar'

Lalu mengalirlah jawaban berikut,
"Anak saya perempuan kelas delapan, namanya sebut aja Laura (bukan nama sebenarnya tentu saja). Belum lama saya dipanggil oleh guru BK karena anak saya ketauan dekat sama cowok di lingkungan sekolah. Karena sekolah Islam, yang ketauan punya pacar, akan kena sanksi. Usut punya usut ternyata bukan dia yang dekat, tapi sahabatnya janjian sama cowok dan dia nganter. Saya baru agak lega, ketika di rumah ternyata anak saya mengaku bahwa dia pun punya pacar. Hati saya hancur, kenapa sampai saya nggak tau? Saya tanya dia, kenapa nggak pernah cerita sama Mama kalau ada yang deketin kamu? Padahal selama ini saya sudah menjadi 'tameng' atas segala keinginannya dan perilakunya dari suami."

Eh, tameng?

"Iya Teh, suami saya pel*t banget. Kalau anak mau apa-apa, gak dikasih. Anak minta HP, nggak dikasih. Anak mau hang out sama temen-temennya, nggak boleh. Anak mau ikutan apa, wawancaranya banyak. Biasanya saya yang nyampein ke suami, bahwa ini gak seburuk yang dia pikirin. Saya bujuk-bujuk segimana rupa sampai akhirnya diizinkan beli HP, pergi sama temen dan lainnya. Adakalanya suamk keukeuh nggak ngizinin, saya diam-diam pakai uang belanja untuk memenuhinya."

Oh ya Rabb ...

Ibu melanjutkan, "Pernah dia sekali cerita, temen-temennya punya pacar. Ayahnya langsung tegas bilang, kamu gak boleh pacaran! Saya gak bilang apa-apa saat itu. Satu sisi saya pengen anak saya nggak pacaran, ya malu aja gitu kalo sodara atau tetangga liat dia boncengan sama cowok. Tapi sisi lain, saya pikir takutnya kalau melarang malah dia pacaran di belakang kami. Akhirnya saya bilang, ya silakan aja punya pacar. Tapi bilang sama Mama. Dan jangan suka jalan berdua-duaan. Sama temen kek. Tapi kenapa setelah semua kelonggaran yang saya kasih, dia malah nggak cerita sama saya?" isak sang Ibu.

Giliran saya yang migrain.
❤️

Ayah Bunda, mohon maaf ... melarang pacaran bukan proses satu malam yang bagaikan mengayun tongkat sihir, maka anak akan patuh dengan ikhlas. Ini adalah proses yang panjang, yang idealnya dilakukan sejak anak belum baligh, sejak 'cinta merah jambu' belum mampir dalam benaknya.

Dan satu lagi, pondasi terkuat melarang anak melakukan hal yang dilarang syariat adalah dengan menyertakan syariat itu sendiri dalam proses menyampaikannya.

Kita semua tentu tau atau sudah pernah mendengar perintah Allah yang satu ini, "Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al Isra : 32).

Mengapa tidak, itulah yang kita sampaikan langsung pada anak. Jadi gak boleh pacaran itu karena dilarang Allah, bukan perkara malu sama tetangga.

Nak, zina itu Allah bilangnya jangan didekati, bukan cuma dilakukan. Jadi kalau kamu suka-sukaan sama non mahrom, kaya makan berdua ke restoran, nonton bioskop berdua, motoran berdua atau bahkan sekadar wa

'I Love You' '
I miss you'
'Can not live without you'

Itu adalah proses mendekati zina, Anakku sayang.

"Tapi temen-temenku juga gitu, biasa aja."

"Biasa belum tentu benar, bisa aja mereka nggak tau dan orangtuanya nggak ngasih tau."

Atau simpelnya, ingatkan anak kenapa sekolah sampai melarang dan memberi sanksi? Itu pasti karena tidak memberi dampak baik.

Dimulai dari saling mengucap rindu, saling tatap, berlanjut saling genggam, bersentuhan lainnya selain tangan ... dan naudzubillahimindzalik.

"Nggak lah, aku kan bisa jaga diri."

"Mama percaya kamu bisa jaga diri. Tapi kita manusia, sekuat apa sih? Nabi Adam 'alaihissalam pun terusir dari surga karena tergoda bujuk rayu ib lis. Itu nabi lho, nabi. Apalah kita manusia, yang kalo lagi gak punya duit sementara kebutuhan banyak, nemu seratus ribuan di trotoar aja, mikirnya bisa lama. Ambil apa enggak?"

Cukup cuma ngomong?
Tentu tidak, Alejandro!

Peluk anak!

Mama sayang kamu karena Allah.
Papa peduli sama kamu karena Allah.
Yuk kita sama-sama berjuang supaya bisa sampai ke surga Allah.
❤️❤️

Kembali ke Ibu tadi, "Susah Teh, anak saya si Laura nggak deket sama ayahnya. Karena saya bilang tadi, pelit bangeet. Dan ayahnya juga sibuk, jarang ngobrol sama anak."

Duh Allah ... Fatherless saat raga sang ayah masih ada.

"Bicara baik-baik pada suami, lalu kencangkan doa di waktu mustajab, Bu."

"Emang kalau Ayahnya mau dekat sama anak, dia bakal putusin pacarnya?"

"Kita pakai logika sederhana. Kalau ada dua ABG perempuan. Yang satu dekat sama ayahnya, lainnya enggak. Yang dekat, punya jadwal main sama ayahnya setiap sabtu sore entah itu olahraga bareng, ke toko buku, kajian, atau sekadar makan di mall. Lainnya nggak. Kira-kira saat ada laki-laki yang wa keduanya ngajak malam mingguan, mana yang berpotensi menerima ajakan laki-laki itu?"

"Yang gak deket sama ayahnya."

"Atau untuk yang Ayahnya kerja di luar kota dan LDR sama ibunya, suatu hari anak perempuannya sakit. Yang satu ditelponin di sela-sela pekerjaan kantor, dikirimin stiker lucu-lucu via wa nya, dipesenin makanan kesukaannya secara online oleh sang ayah (bisa jadi lewat ibunya, tapi atas nama ayah). Yang satunya nggak. Kira-kira, yang lebih tersipu-sipu saat dapat perhatian sekadar ucapan, 'Get well soon, Dear' dari laki-laki, yang mana?"

"Yang gak diperhatiin dong, Teh."

"Itulah dahsyatnya kedekatan Ayah dengan anak gadisnya. Sosok yang sejatinya merupakan cinta pertama anak perempuan. Jika sosok ini berhasil hadir, maka insya Allah anak perempuan tak membutuhkan perhatian atau kasih sayang dari laki-laki lain. Kalaupun ingin karena melihat teman-temannya, maka mengendalikannya akan lebih mudah."
❤️❤️❤️

Wahai para ayah yang punya anak perempuan  terutama saat mereka sudah menginjak baligh, mari tengok sejenak wajah mereka yang ranum merona itu.

Coba diingat, sadarkah dengan perubahan dari pipi chubby mereka yang dulu pernah kita cubit gemas? Yang dulu kita timang-timang karena kaki bulatnya belum bisa berjalan.

Yang bahagianya luar biasa saat untuk pertama kalinya kata 'Papa' atau 'Ayah' atau 'Daddy' keluar dari mulut mungilnya.

Kini mereka sudah bisa bicara dengan lancar. Jangankan berjalan, berlari pun tak perlu lagi ditopang.

Tapi, mereka tetap butuh Anda, Ayah. Sosok laki-laki yang akan menopangnya saat galau. Laki-laki yang akan mengajarinya bagaimana melangkahkan kaki sebagai perempuan yang kuat dan mandiri, sehingga tak mudah tergoda oleh rayu-biru lelaki yang sama-sama baru 'menetas' di luar sana, atau lebih menyeramkannya, para pred ator anak dan sugar daddy yang hanya ingin mengisap manis lalu membuang sepah.

Lalu kita sebagai orangtua hanya bisa menangis menyesali keadaan, saling menyalahkan satu sama lain. Tanpa disadari bahwa kita pun absen dalam proses pendidikannya.

Sampai hatikah kalian, Ayah?

Sungguh saya dan para isteri/ibu memahami bahwa tugas dan tanggungjawab kalian demikian berat. Mencari nafkah agar keluarga bisa tetap hidup layak, anak-anak tetap bisa bersekolah, listrik dan segala urusan domestik bisa tetap terlunasi.

Tapi, tugas mendidik dan mengasuh anak adalah tugas berdua, Ayah dan Bunda. Jangan membuat sekat, Ayah bekerja di kantor, Ibu memasak di dapur. Itu cukuplah kita pelajari di buku paket Bahasa Indonesia jadul. Karena pada kenyataannya butuh sinergi untuk setiap urusan rumahtangga khususnya pengasuhan dan pendidikan anak.

Ayah adalah kepala sekolah yang merumuskan visi misi pendidikan dan pengasuhan.

Bunda adalah guru, sebagai esksekutor dari apa yang sudah ditetapkan oleh sang kepala sekolah.

Di akhir periode, evaluasi adalah tugas bersama.

Semoga Allah menguatkan pundak kita dalam mendidik dan mengasuh anak-anak, terutama di sekitar masa baligh-nya. Membersamai mereka agar tuntas pula aqilnya.

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu