Skip to main content

Terkait Pemberian Sanksi, Guru Anakku Tak Adil?


Kemarin saya share tulisan Ustadz Zamzam mengenai #Sanksi ⬇️⬇️

"Rumah dan Sekolah (termasuk pesantren) adalah tempat anak 'buang kotoran'." Ucapan Ustadz Aad ini terus terngiang.

Maksudnya rumah dan Sekolah adalah tempat anak-anak membuang sifat, sikap dan perilaku buruk mereka.

"Maka jangan jadikan rumah atau sekolah sebagai etalase-etalase kebaikan," lanjut Ustadz Aad. Maknanya, jangan kondisikan anak-anak tunduk patuh sempurna di hadapan para orangtua dan guru, seolah-olah mereka sudah menjadi orang-orang sholeh. Padahal kita tidak tahu aslinya. Kita tidak tahu isi hati dan kepala mereka. Kita tidak peduli hasrat dan kepedulian mereka. Yang kita mau mereka harus tampil soleh sempurna di hadapan kita. Sekali melanggar, kita coreng wajah mereka, dua kali melanggar surat peringatan plus sanksi-sanksi yang sudah disiapkan.

Selengkapnya baca di sini
https://bit.ly/3ajiVUb
💮💮💮

Berdasarkan tulisan itu, ada beberapa japri ke saya bertanya atau curhat seputar sanksi yang pernah diterima anak-anaknya di sekolah.

⛔️ "Teh, anakku kemarin dihukum suruh berdiri di depan kelas sama gurunya. Kutanya, kamu nakal? Enggak, tapi karena hafalan sulit nempel." (Siswa kelas 3 SD)

⛔️ "Bun, anak saya pernah disuruh ngakuin pelanggaran yang gak dia lakuin. Tapi gurunya gak percaya, soalnya katanya beberapa temennya bersaksi bahwa dia melakukan itu." (Siswa kelas 8 SMP)

⛔️ "Anak saya cerita kalau dia difitnah ngomong kasar, padahal sebetulnya enggak. Eh gurunya malah marahin dia tanpa tabayyun." (Yg ini lupa anaknya kelas berapa)
💮💮💮

Sebelum kita bahas, apakah itu sungguh karena guru tak adil? Baiknya saya sampaikan dulu perkara sanksi. Ini dari sudut pandang sebagai orangtua. Guru biasanya menyesuaikan SOP yang ada di lembaga pendidikan tempatnya mengajar.

Sanksi itu setidaknya memenuhi syarat berikut :
1. Sudah diberitahukan, idealnya bahkan sudah disepakati dengan anak sebelumnya
Sebagaimana dicontohkan oleh hadis  berikut, “Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan salat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukulah mereka (jika meninggalkannya) saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Abu Daud).

Jika mau memberlakukan sanksi ini pada anak-anak, maka pemberitahuannya harus jauh-jauh hari, paling tidak saat usianya jelang 10. Sampaikan bahwa ini hadis, bukan karangan sendiri.
Jikapun ingin memberi sanksi atas kebijakan sendiri, maka beritahukan alasannya, kenapa bentuk itu yang dipilih.
Selain sounding beberapa waktu sebelumnya, berilah beberapa kesempatan pelanggaran (uzur untuk lupa) sebelum sanksi tersebut sungguh dilakukan.

2. Sanksi diberikan sesuai dengan usia anak dan jenis pelanggaran
Jika 10 tahun tak sholat, maka lain halnya dengan anak usia 7 tahun. Tak boleh memukul jika ia belum mau sholat. Ini masih masuk tahap belajar.
Ajak untuk mengenal Rabb-nya hingga ia cinta. Sampaikan padanya bahwa shalat adalah salah satu bentuk cinta dan taat pada Allah. Anak kalau sudah kadung cinta pada satu sosok, apa saja akan dilakukan, meski tak suka. Jangankan anak deng, orangtua juga tak jarang seperti itu, bukan? Bucin katanya ...
Usia sebelum 10 jika anak mau shalat tanpa disuruh, berikan reward berupa pujian, bahwa Allah kan bertambah sayang padanya. Dimana kelak segala urusan dia akan dipermudah.

3. Memberi sanksi sebaiknya yang membangkitkan kesadaran dan hikmah, bukan malah sakit hati dan dendam
Anak kesiangan bangun, dipu kul rotan. Udah nggak jaman, Bestie! Bukannya sadar, yang ada anak malah jengkel dan sakit hati. Salah-salah besarnya jadi tumbuh inner child.
Tapi, ada tapinya nih. Kalau anaknya udah gede dan perilakunya sulit berubah, setiap orangtua pasti hafal karakter anak dan punya perhitungan masing-masing. Jika sebuah puku lan dirasa akan memberi pemahaman atau hikmah, lakukan saja. Tidak usah saling nyinyir dengan kebijakan orangtua lainnya.

Jadi, menghukum seperti apa yang membangkitkan kesadaran dan hikmah? Misalnya kita dapat laporan dari guru, kalau anak ketauan mencontek di sekolah. Daripada menyita mainan atau gadget (bagi yang punya), akan lebih bermanfaat jika ia disuruh merangkum materi yang ada dalam ulangan, yang ia contek. Dengan begini anak jadi belajar materi tersebut. Dia paham susahnya belajar. Sehingga dicontek itu sungguh mengesalkan.

4. Adil, berlaku untuk semua anak, meski levelnya berbeda
Misal, jika ada 4 anak di rumah dan peraturannya harus izin kalau mau keluar rumah, maka tak boleh jika untuk 1 anak saja. Tapi boleh menetapkan hukuman berbeda jika melanggar. Misalnya anak SMP disuruh membantu pekerjaan ayah/ibunya di akhir pekan, sehingga mengurangi waktu yang harusnya bermain bersama teman-teman. Anak SD disuruh menulis "Akan selalu izin kalau mau main" sebanyak 2 halaman.

5. Jelaskan tujuan hukuman
Agar anak disiplin, jujur dan bertanggungjawab, itu intinya. Dimana ketiga sikap ini sungguh dibutuhkan untuk bisa berbaur dengan nyaman di masyarakat.
💮💮💮

Lalu, jika anak mengadu bahwa gurunya tak adil, kita bisa melihat kembali 5 poin di atas.
1. Tanyakan pada anak, apakah peraturan tentang hukuman itu sudah diberitahukan sebelumnya?
2. Nilai dengan rasa yang kita miliki, apakah sesuai dengan usia anak?
3. Bagaimana perasaan atau penghayatan anak menerima hukuman itu?
4. Apakah anak merasa diperlakukan adil?
5. Apakah guru menjelaskan tujuan diturunkannya hukuman itu?

Kalau jawabannya lebih banyak tidak, maka yang terbaik adalah mengkonfirmasi/tabayun dengan gurunya.

Apakah sopan menanyakan hukuman yang diberikan guru? Jangan-jangan dianggap gak punya adab?
Eit jangan salah. Mendatangi guru baik-baik untuk tabayun, merupakan salah satu bentuk perhatian orangtua dan cara bersinergi dengan guru. Guru yang baik seharusnya senang jika ada orangtua yang seperti ini, artinya meringankan tugasnya mendidik siswa, karena orangtuanya terlibat.

Bagaimana jika guru salah memberikan hukuman? Jika menilik kasus di atas, karena fitnah misalnya. Pastikan bahwa anak jujur. Cara membuktikannya, tanyakan pada Sang Pemilik CCTV terbesar di langit dan bumi, yaitu Allah. Dalam sujud panjang, minta agar Dia bukakan tabir agar kesalahan ditampakkan, demikian pula dengan kebenaran.

Sampaikan pada anak, bahwa jika ia jujur dan gurunya tetap memberi hukuman karena adanya fitnah, maka berpikir positif lah, boleh jadi ini ujian Allah untuk meningkatkan derajat sang anak atau memberikan pahala extra. Atau jadi bahan introspeksi, barangkali anak pernah berlaku tak adil pada saudara dan temannya.

Namun, jika anak berbohong, artinya dia dihukum karena bersalah, maka dia memang harus mempertanggungjawabkan kesalahannya. Dengan demikian, tunailah hukuman di dunia, tak perlu ada yang menuntutnya di akhirat kelak.

Bagaimana jika seorang anak sampai menden dam terhadap hukuman gurunya?
Sampaikan bahwa guru juga manusia yang mungkin banget khilaf. Memaafkan adalah cara terbaik untuk membuat hati jadi tenang.

Tunjukkan perubahan sikap baik, hingga suatu masa sang guru akan menyadari kesalahannya memberi hukuman yang berlebihan atau tak adil terhadap teman lainnya.

Ajarkan anak untuk ikhlas. Jika sulit, mungkin karena saat dihukum selain menyakitkan juga mempermalukan, maka opsi jika memungkinkan pindahkan sekolah anak, untuk mencegah trauma. Jika tak memungkinkan, maka ajarkan anak untuk menjadikan itu sebagai sebuah pelajaran hidup. Jika kelak ia dewasa, jangan pernah memperlakukan orang dengan semena-mena. Kisah Muhammad Al Fatih yang dipukul oleh gurunya Syekh Aaq Syamsuddin tanpa alasan, bisa diceritakan pada anak-anak terkait hal ini
💮💮💮

Sungguh nggak ada yang sempurna di dunia ini, termasuk guru-guru anak kita. Jika tak mampu memberi uzur, maka doakanlah agar Allah turunkan hidayah untuknya. Jika masih tak mampu juga, maka carilah guru pengganti. Agar satu permasalahan tak menjadi duri dalam daging sepanjang usia.

Selamat membersamai anak bersekolah dengan bahagia dalam taat.

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu