Inner Child, Lepaskan dengan Bismillah
Beberapa waktu belakangan, inbox dan WA saya dipenuhi dengan kisah teman-teman mengenai Inner Child yang mereka alami.
❤️
Apa itu #innerChild ?
'Anak-anak' yang terperangkap dalam jiwa orang dewasa. Mereka memeluk erat segala kenangan yang terjadi di masa kanak-kanak, baik ataupun buruk. Sayangnya, yang sering menimbulkan efek buruk adalah pengalaman buruk dan traumatis.
Saya akan membatasi pengalaman traumatis ini ya. Jadi jika Anda menyebut diri mengalami trauma atau inner child karena pernah dimarahi oleh orangtua tersebab melakukan kenakalan semasa sekolah, dihukum kurungan di rumah karena ketauan punya pacar saat remaja dan hukuman lainnya karena kesalahan yang diperbuat, mohon maaf itu bukan trauma Inner Child, tapi wajar.
Jadi traumatic moment masa kecil itu yang seperti apa? Yang tidak disebabkan secara langsung oleh perbuatan kita.
Kasus 1
A (30th, perempuan) memiliki banyak kemampuan mulai dari membuat kue, menjahit dan keterampilan lainnya. Tak hanya itu, ia bahkan piawai menjual hasil karyanya. Tapi semua itu, alih-alih membuatnya percaya diri, malah membuatnya insecure. Selalu merasa diri nggak berharga, nggak berguna, nggak layak dicintai dan mendapatkan kebaikan. Selalu terngiang di benaknya ucapan sang Ayah dan saudaranya sepanjang usia kanak-kanak dan remajanya, bahwa ia adalah 'Anak pembawa Si al'. Disebut-sebut sejak kelahirannya, usaha sang Ayah merosot tajam. Tak ada pembelaan dari siapapun. Ibunya lebih sering membela sang kakak. Padahal di matanya sang kakak tak lebih baik darinya. Pernah terkena kasus mabuk2an dan obat terlarang.
Kasus 2
B (40th, perempuan) baru beberapa tahun terakhir bisa menerima ayahnya menjadi bagian dari hidupnya dengan ikhlas. Sebelumnya, bahkan bertemu dengan sang ayah saja ia enggan. Teringat bertahun-tahun hidupnya di masa kecil dan remaja tanpa kehadiran sosok yang semestinya bisa menjadi cinta pertama baginya. Tapi ah, jangankan cinta pertama, menjadi tulang punggung serta imam yang menafkahi dan membimbing keluarga saja, sang ayah absen. Bertahun-tahun ia pergi tanpa kabar (entah jika sebetulnya sang ibu tau tapi memilih merahasiakan), lalu kembali dengan satu keluarga baru. Lucunya, nama anak-anak dari keluarga barunya, sama dengan ia dan saudara-saudaranya. Tak ada yang tau alasannya, sampai ketika sang nenek wafat dan surat wasiat dibacakan, dimana nama-nama cucunya disebut, maka sang Ayah mengatakan bahwa itu adalah hak anak-anak dari keluarga barunya.
Kasus 3
C (35th, perempuan) kini menetap di luar negeri. Sudah bertahun-tahun ia memilih tak pulang kampung. Bukan karena tak rindu dengan sanak-saudara atau orangtua. Pasalnya, sang ibu, seperti tak pernah mengharapkan kehadiran dirinya maupun anak-anaknya. Sejak kecil sudah demikian. Ibunda bukanlah sosok hangat macam yang sering ia temui dalam buku bacaan anak-anak. Membuatkan sarapan, mengobrol di meja makan, mendengarkan curhat atau mendongeng, nyaris tak pernah ada dalam kesehariannya maupun saudara-saudaranya. Setelah menikah, ia berpikir sang ibu akan berubah. Tapi tidak, Ibu tetap seperti itu. Beliau bahkan tak peduli pada cucu-cucunya. Meski terpaut jarak yang jauh, tak nampak ada rindu di wajahnya.
❤️
Kasus lain masih banyak. Akibat perceraian atau kebersamaan namun alih-alih cinta dan kasih sayang, amarah dan saling tuding mewarnai keseharian. Dan mereka, di masa kanak-kanak serta remajanya, mau tak mau, mengecap semua kepahitan itu.
Yang miris saat ada yang bercerita, "Saya suka diajak pergi sama Bapak, ketemu perempuan. Bapak mesra dengan dia. Saya masih kecil, nggak tau siapa itu. Cuma perasaan aja nggak enak. Lama akhirnya saya paham, dia itu pacarnya Bapak. Apalagi setelah Bapak mulai ka sar dan suka nggak pulang."
Apa imbas dari jiwa anak-anak yang masih terperangkap dalam diri orang dewasa ini? Enggak sedikit ternyata.
Beberapa waktu belakangan, inbox dan WA saya dipenuhi dengan kisah teman-teman mengenai Inner Child yang mereka alami.
❤️
Apa itu #innerChild ?
'Anak-anak' yang terperangkap dalam jiwa orang dewasa. Mereka memeluk erat segala kenangan yang terjadi di masa kanak-kanak, baik ataupun buruk. Sayangnya, yang sering menimbulkan efek buruk adalah pengalaman buruk dan traumatis.
Saya akan membatasi pengalaman traumatis ini ya. Jadi jika Anda menyebut diri mengalami trauma atau inner child karena pernah dimarahi oleh orangtua tersebab melakukan kenakalan semasa sekolah, dihukum kurungan di rumah karena ketauan punya pacar saat remaja dan hukuman lainnya karena kesalahan yang diperbuat, mohon maaf itu bukan trauma Inner Child, tapi wajar.
Jadi traumatic moment masa kecil itu yang seperti apa? Yang tidak disebabkan secara langsung oleh perbuatan kita.
Kasus 1
A (30th, perempuan) memiliki banyak kemampuan mulai dari membuat kue, menjahit dan keterampilan lainnya. Tak hanya itu, ia bahkan piawai menjual hasil karyanya. Tapi semua itu, alih-alih membuatnya percaya diri, malah membuatnya insecure. Selalu merasa diri nggak berharga, nggak berguna, nggak layak dicintai dan mendapatkan kebaikan. Selalu terngiang di benaknya ucapan sang Ayah dan saudaranya sepanjang usia kanak-kanak dan remajanya, bahwa ia adalah 'Anak pembawa Si al'. Disebut-sebut sejak kelahirannya, usaha sang Ayah merosot tajam. Tak ada pembelaan dari siapapun. Ibunya lebih sering membela sang kakak. Padahal di matanya sang kakak tak lebih baik darinya. Pernah terkena kasus mabuk2an dan obat terlarang.
Kasus 2
B (40th, perempuan) baru beberapa tahun terakhir bisa menerima ayahnya menjadi bagian dari hidupnya dengan ikhlas. Sebelumnya, bahkan bertemu dengan sang ayah saja ia enggan. Teringat bertahun-tahun hidupnya di masa kecil dan remaja tanpa kehadiran sosok yang semestinya bisa menjadi cinta pertama baginya. Tapi ah, jangankan cinta pertama, menjadi tulang punggung serta imam yang menafkahi dan membimbing keluarga saja, sang ayah absen. Bertahun-tahun ia pergi tanpa kabar (entah jika sebetulnya sang ibu tau tapi memilih merahasiakan), lalu kembali dengan satu keluarga baru. Lucunya, nama anak-anak dari keluarga barunya, sama dengan ia dan saudara-saudaranya. Tak ada yang tau alasannya, sampai ketika sang nenek wafat dan surat wasiat dibacakan, dimana nama-nama cucunya disebut, maka sang Ayah mengatakan bahwa itu adalah hak anak-anak dari keluarga barunya.
Kasus 3
C (35th, perempuan) kini menetap di luar negeri. Sudah bertahun-tahun ia memilih tak pulang kampung. Bukan karena tak rindu dengan sanak-saudara atau orangtua. Pasalnya, sang ibu, seperti tak pernah mengharapkan kehadiran dirinya maupun anak-anaknya. Sejak kecil sudah demikian. Ibunda bukanlah sosok hangat macam yang sering ia temui dalam buku bacaan anak-anak. Membuatkan sarapan, mengobrol di meja makan, mendengarkan curhat atau mendongeng, nyaris tak pernah ada dalam kesehariannya maupun saudara-saudaranya. Setelah menikah, ia berpikir sang ibu akan berubah. Tapi tidak, Ibu tetap seperti itu. Beliau bahkan tak peduli pada cucu-cucunya. Meski terpaut jarak yang jauh, tak nampak ada rindu di wajahnya.
❤️
Kasus lain masih banyak. Akibat perceraian atau kebersamaan namun alih-alih cinta dan kasih sayang, amarah dan saling tuding mewarnai keseharian. Dan mereka, di masa kanak-kanak serta remajanya, mau tak mau, mengecap semua kepahitan itu.
Yang miris saat ada yang bercerita, "Saya suka diajak pergi sama Bapak, ketemu perempuan. Bapak mesra dengan dia. Saya masih kecil, nggak tau siapa itu. Cuma perasaan aja nggak enak. Lama akhirnya saya paham, dia itu pacarnya Bapak. Apalagi setelah Bapak mulai ka sar dan suka nggak pulang."
Apa imbas dari jiwa anak-anak yang masih terperangkap dalam diri orang dewasa ini? Enggak sedikit ternyata.
Mereka yang mengalami keke rasan di masa kecil, kemungkinan besar mengulanginya pada anak-anak. Karena merasa bahwa cara itu ampuh untuk 'menasehati' anak agar lebih baik. Sebaliknya, mereka yang tak dipedulikan, juga memiliki peluang lebih besar untuk mengabaikan anak-anaknya.
Belum lah terkait trigger. Bentakan yang dulu menjadi santapan sehari-hari, boleh jadi menempel rapat dan membuat takut jika kembali terdengar, meski dari orang yang berbeda.
Kisah-kisah keke rasan yang tertuang di portal berita atau televisi, bisa memunculkan gelenyar nyeri di dada, tanpa bisa dicegah. Bahkan tak jarang peristiwa pahit di masa lalu, seolah terpampang jelas bagai video yang diputar ulang.
Begitulah, trauma.
Bolehkah bersedih karenanya? Mengeluh? Menangis? Memaki?
Tentu saja boleh.
Sok sana nangis yang kenceng, sampai hilang sesak di dada. Tuliskan semua pengalaman nyeri itu di atas kertas, remas kertasnya dan buang jauh.
Lalu ambil wudhu dan bentangkan sajadah.
Allahu Akbar!
Sampaikan seluruh perih yang mengiris kalbu itu pada-Nya.
Adukan seluruh trauma yang nyaris memorakporandakan segala sendi kehidupan itu di hadapan-Nya.
Kembalikan pada-Nya semua itu. Tau kenapa? Karena semua yang ada di alam semesta ini terjadi atas izin Allah kok, termasuk masa lalu yang demikian pahit. Sebagai ujian untuk membuat diri menjadi sosok yang jauh lebih kuat.
Tapi ya Allah, aku trauma. Apanya yang kuat?
Karena kita belum mengenal-Nya dengan baik.
Kita belum mengenal Allah sehingga tak mampu membaca pesan cinta dari-Nya. Gali diri, cari Allah, kenali Dia yang demikian dekat tak berjarak dengan mereka yang senantiasa bertasbih.
Sulit?
Boleh kok minta bantuan profesional macam psikolog atau pemuka agama. Kerabat dekat yang dirasa memiliki kepedulian pada kita pun boleh.
❤️
Berikut penggalan Al Baqarah ayat 286,
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya ..."
See?
Jadi jika kita masih bisa melihat matahari pagi ini bersinar menghangatkan bumi, maka peluklah sinar itu sambil mengucap syukur.
Syukur bahwa dengan segala kesulitan yang pernah hadir, Allah masih kuatkan jiwa dan raga untuk mengitari bumi-Nya nan luas. Memiliki kesempatan untuk melakukan hal baik, perjalanan penuh hikmah dan menjadi manfaat untuk orang lain, utamanya keluarga.
Kita mungkin tak sadar bahwa bagaikan permata yang ditempa dengan panas yang begitu dahsyat, kita adalah manusia kualitas tinggi yang ketangguhannya sudah teruji. Hanya saja, jika dianalogikan dengan permata, kita ini belum dibersihkan. Apanya? Husnuzhan nya sama Allah.
Teman, tegarlah. Tegakkan kepala untuk hadapi dunia. Orangtua kita tak sempurna. Sebagaimana kita saat ini, menjadi orangtua yang jauh dari sempurna untuk anak-anak.
Plusnya, kita sekarang paham bahwa menghadirkan amarah atau pengabaian pada anak, bukanlah hal yang mulia. Bahkan bisa meninggalkan luka batin dalam diri mereka.
Maka, jangan ragu, putuskan rantai inner child yang ada dalam diri.
Maafkan kedua orangtua. Yakinlah bahwa sesungguhnya mereka tak menginginkan itu. Para perantara keberadaan kita di dunia ini, yaitu orangtua, pada saat itu mungkin sedang mengalami masalah yang sangat pelik. Hingga tak mampu menyediakan lingkungan pengasuhan yang penuh kehangatan.
Tak mudah pastinya. Tapi percayalah, jauh lebih berat memikul beban berupa ransel berisi luka atau trauma masa kecil kemana-mana.
Dimana beragam hal yang mestinya ringan, bisa menjadi trigger yang membuat kita bersedih dan luka-luka itu kembali muncul ke permukaan.
Maafkan, ikhlaskan, lepaskan dengan nama Allah. Minta agar Allah lapangkan hati ini untuk membuka lembaran baru yang bersih tanpa dendam dan sakit hati nan membara.
Salam hangat,
Pritha Khalida🌷
Belum lah terkait trigger. Bentakan yang dulu menjadi santapan sehari-hari, boleh jadi menempel rapat dan membuat takut jika kembali terdengar, meski dari orang yang berbeda.
Kisah-kisah keke rasan yang tertuang di portal berita atau televisi, bisa memunculkan gelenyar nyeri di dada, tanpa bisa dicegah. Bahkan tak jarang peristiwa pahit di masa lalu, seolah terpampang jelas bagai video yang diputar ulang.
Begitulah, trauma.
Bolehkah bersedih karenanya? Mengeluh? Menangis? Memaki?
Tentu saja boleh.
Sok sana nangis yang kenceng, sampai hilang sesak di dada. Tuliskan semua pengalaman nyeri itu di atas kertas, remas kertasnya dan buang jauh.
Lalu ambil wudhu dan bentangkan sajadah.
Allahu Akbar!
Sampaikan seluruh perih yang mengiris kalbu itu pada-Nya.
Adukan seluruh trauma yang nyaris memorakporandakan segala sendi kehidupan itu di hadapan-Nya.
Kembalikan pada-Nya semua itu. Tau kenapa? Karena semua yang ada di alam semesta ini terjadi atas izin Allah kok, termasuk masa lalu yang demikian pahit. Sebagai ujian untuk membuat diri menjadi sosok yang jauh lebih kuat.
Tapi ya Allah, aku trauma. Apanya yang kuat?
Karena kita belum mengenal-Nya dengan baik.
Kita belum mengenal Allah sehingga tak mampu membaca pesan cinta dari-Nya. Gali diri, cari Allah, kenali Dia yang demikian dekat tak berjarak dengan mereka yang senantiasa bertasbih.
Sulit?
Boleh kok minta bantuan profesional macam psikolog atau pemuka agama. Kerabat dekat yang dirasa memiliki kepedulian pada kita pun boleh.
❤️
Berikut penggalan Al Baqarah ayat 286,
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya ..."
See?
Jadi jika kita masih bisa melihat matahari pagi ini bersinar menghangatkan bumi, maka peluklah sinar itu sambil mengucap syukur.
Syukur bahwa dengan segala kesulitan yang pernah hadir, Allah masih kuatkan jiwa dan raga untuk mengitari bumi-Nya nan luas. Memiliki kesempatan untuk melakukan hal baik, perjalanan penuh hikmah dan menjadi manfaat untuk orang lain, utamanya keluarga.
Kita mungkin tak sadar bahwa bagaikan permata yang ditempa dengan panas yang begitu dahsyat, kita adalah manusia kualitas tinggi yang ketangguhannya sudah teruji. Hanya saja, jika dianalogikan dengan permata, kita ini belum dibersihkan. Apanya? Husnuzhan nya sama Allah.
Teman, tegarlah. Tegakkan kepala untuk hadapi dunia. Orangtua kita tak sempurna. Sebagaimana kita saat ini, menjadi orangtua yang jauh dari sempurna untuk anak-anak.
Plusnya, kita sekarang paham bahwa menghadirkan amarah atau pengabaian pada anak, bukanlah hal yang mulia. Bahkan bisa meninggalkan luka batin dalam diri mereka.
Maka, jangan ragu, putuskan rantai inner child yang ada dalam diri.
Maafkan kedua orangtua. Yakinlah bahwa sesungguhnya mereka tak menginginkan itu. Para perantara keberadaan kita di dunia ini, yaitu orangtua, pada saat itu mungkin sedang mengalami masalah yang sangat pelik. Hingga tak mampu menyediakan lingkungan pengasuhan yang penuh kehangatan.
Tak mudah pastinya. Tapi percayalah, jauh lebih berat memikul beban berupa ransel berisi luka atau trauma masa kecil kemana-mana.
Dimana beragam hal yang mestinya ringan, bisa menjadi trigger yang membuat kita bersedih dan luka-luka itu kembali muncul ke permukaan.
Maafkan, ikhlaskan, lepaskan dengan nama Allah. Minta agar Allah lapangkan hati ini untuk membuka lembaran baru yang bersih tanpa dendam dan sakit hati nan membara.
Salam hangat,
Pritha Khalida🌷
Comments
Post a Comment