Skip to main content

Berkorban VS Berjuang




Kalau ada yg bilang, jadi #orangtua itu harus siap kehilangan segalanya mulai dari waktu bersantai sampai karir, itu nggak sepenuhnya benar. Karena jika kita bisa me-manage waktu dg baik dan memiliki support system yang mendukung, maka 'kehilangan' itu bisa diminimalisir.

Kalau nggak punya support system, gimana?
Terimalah kondisi sebagai bentuk konsekuensi sebagai isteri/suami dan ibu/ayah.

Kenapa saya sebut keduanya?
Karena pd pernikahan yg sehat, memang nggak cuma salah satu kok yang diharapkan banyak mengalah. Keduanya harus bersinergi dan tumbuh bersama. Meski kadang urusan tumbuh ke samping, banyakan isteri (eh itu mah saya).

Tapi satu yang pasti, yuk ubah mindset utk tidak menyebut hal ini sebagai #pengorbanan . Alih-alih merasa berkorban, mending sebut #perjuangan
Perjuangan yang dilakukan bersama.

Apa bedanya?

Contoh, misalnya ada keluarga yang anaknya susah diatur.

❌️ "Nak, setelah pengorbanan Mama bertahun-tahun melepas karir yang nyaris sampai puncak, demi ngerawat kamu, kok kamu sekarang jadi anak nyebelin sih?"
➡️ Kita merasa berkorban alias jadi korban atas kewajiban mengasuh anak

✅️ "Tau nggak, kita sampai sini tuh perjuangan bersama. Mama berjuang ngasuh kamu biar tumbuh jd anak pinter, shalih/a. Kamu berjuang ngadepin Mama yang cerewet. Ya masa sih sekarang ngeyelan?"

Atau dari sisi bapak misalnya

❌️ "Dasar anak gak tau diri! Papa sibuk kerja lembur tiap hari, ngorbanin waktu istirahat, demi kamu bisa sekolah, demi masa depan kamu. Tapi kelakuanmu kaya ban dit!"

✅️ "Nak, Papa berjuang banget lho ambil lemburan, biar kita bisa liburan. Boleh minta pemaklumannya, supaya kamu ikut berjuang? Gosah ikut lembur, cukup bersikap baik, oke?"

1️⃣ Tundukkan badan setara posisi anak, atau sama-sama duduk
2️⃣ Tatap mendalam matanya, tunjukkan kita punya cinta yang besar padanya
3️⃣ Perhatikan intonasi, lembut tapi tegas, to the point
4️⃣ Peluk atau usap punggungnya
5️⃣ Senyum, tunjukkan kita tulus

Jika ada yang bilang bahwa pernikahan merupakan ibadah terpanjang dalam hidup, maka mengasuh dan mendidik anak boleh jadi merupakan ibadah yang paling complicated. Tak hanya panjang, tapi juga rumit. Jika digabung seribu teori parenting, belum tentu cocok.

Kita harus senantiasa membersihkan hati, agar kemampuan mendidik dan mengasuh yang sudah Allah instal sesuai dengan karakter kita dan anak, bisa tetap terlihat jernih untuk dipraktekkan.

Susah tapi balasannya surga, mau kan?

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

#Latepost 20 Desember

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu