Skip to main content

Bahagia dalam Semangkuk Kerang Saus Padang

Belakangan badan aneh, kadang fit banget sampe rasanya sanggup jalan-jalan sejauh mungkin, kadang pusing mual lemah tanpa daya ...
Inikah tandanya menua? #eh

"Pap, aku tensinya drop. Harus makan yang enak ini."

"Naha iraha Teteh makan nu teu enak?"

Disclaimer: nggak berarti tiap hari saya makan mewah, tapi di mata Papap, anak sulungnya ini adalah penikmat makanan nomor wahid. Kalo liat saya makan, meski pake telor ceplok, kayanya enak banget.

"Oh iya ya. Kita beli kerang asem manis atau saos padang, gimana Pap?"

"Sok we."

"Mamam mah gak suka kerang." Ibu saya nimbrung dari kamar.

"Tong diajakan Mamam mah nya, Pap?"

Kami lalu ketawa bareng. Ah masya Allah sesederhana itu bahagia saya hari ini. Masih bisa becanda sama orangtua.

Maaf untuk teman-teman yang sudah tak lagi lengkap keluarganya. Saya hanya sedang menikmati waktu bersama para pintu surga. Entah sampai kapan Allah izinkan. Semoga masih lama dalam keberkahan usia.

Dan siang ini akhirnya saya menyantap kerang saus padang ditemani Papap. Iya, berdua aja. Mamam makan gulai kikil.

Cuma Papap yang bisa diajak makan makanan ini. Suami dan anak-anak saya nggak suka kerang. Eh, si sulung suka sih, tapi saos tiram yang nggak pedas.

Untuk Papap yang nggak terlalu suka pedas, saya akalin. Kerang-kerang itu saya buka lebar, memastikan tak ada rawit di dalamnya.

Kami makan bareng. Tampak sesekali Papap mengecap pedas.

"Lada geuning, Teh. Ceunah teu lada?"

"Saeutik Pap."

Dalam hati, saya lupa, patokan pedas saya memang agak di atas rata-rata. Kirain kalo gak ngunyah rawitnya, saos padang ini gak pedas.

Tapi ayah saya makan cukup banyak, beliau menikmati menu satu ini, yang jarang ada di meja makan kami. Setiap kunyahannya terdengar merdu di telinga.

Seketika, rasanya sakit saya mendadak sembuh. Udah gak usah diliat lagi alat pengukur tensi itu, yang pagi tadi angkanya anjlok, bikin serasa nggak menjejak tanah. Kalau ternyata angkanya nggak berubah, takut stres. Anggap aja udah berubah naik.

Makasih ya Allah, #JumatBerkah bersama kedua orangtua tercinta. Melihat senyum keduanya, tak terbayar oleh apapun.

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu