Skip to main content

Fenomena Lelaki 'K3rdil' dan Perempuan 'Perkasa'



Beberapa waktu lalu saya semoat lihat satu video yang mewawancara 3  orang lelaki. Pertanyaannya sama, "Mau punya isteri kerja apa gak?"

Yang pertama, malu-malu menjawab, "Ya kalo bisa sih kerja, bantu-bantu suami lah cari nafkah."

Lelaki kedua bikin saya mengernyitkan dahi, "Kerja lah, minimal gajinya 5 jt! Apa-apa sekarang mahal."

Dan lelaki ketiga, "Kerja dong, paling gak gaji 10 jt lah. Gue di rumah aja nganter dia kerja, ngerokok, ngurusin burung, ntar jemput lagi."

Berasa pengen nim puk, tapi takut dosa.

Astaghfirullahaladzim...

Dua hari kemarin, liat IG Ustadz Bendri, topiknya tentang laki-laki dewasa (suami) yang tidak mampu bertanggungjawab khususnya perkara nafkah. Sehingga isteri lah yang harus pontang-panting memenuhi kebutuhan keluarga.

Hari ini, satu berita viral dari tokoh politik, cerita sepihak mantan isteri yang sibuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Seolah kaya gong yang memekakkan telinga, Ada apa dengan sebagian lelaki zaman ini? Lupa kah dengan tugas sebagai qawwam? Penanggungjawab keluarga baik dari sisi nafkah, pendidikan dan pengasuhan juga kasih sayang. Perumus visi misi, alias mau dibawa kemana bahtera rumahtangganya?

Saya belajar #AqilBaligh dari Ustadz Aad (Adriano Rusfi, Psikolog). Dimana sejak digaungkannya istilah remaja, tak sedikit orang yang terlambat bahkan tak tuntas Aqil-nya, sementara Baligh seolah berlari kencang. Yang kaya gini, badan seperti orang dewasa tapi perilaku kekanakkan. Salah satu indikasinya, tak mampu bertanggungjawab.

Para lelaki yang belum apa-apa sudah menetapkan kriteria jodoh harus bekerja untuk membantu itulah, salah satu contoh Aqil gak tuntas. Boro-boro mampu bertanggungjawab atas perempuan yg dia nikahi, bertanggungjawab atas diri sendiri saja bikin sangsi.

Harusnya kan dengan bangga bilang, "Kamu di rumah aja, jadi guru untuk anak kita kelak, biar aku yang cari nafkah."

Itu baru laki! Yakin akan rezeki dari Allah untuknya dan keluarganya. Berani memikul beban atas tulang rusuk dan buah hatinya.

Seolah berbanding terbalik, di sisi lain muncullah para perempuan 'perkasa' yang akhirnya mengambil alih tanggungjawab mencari nafkah, menggantikan peran 'imam' mereka yang seolah tanpa daya.

Tolong dicatat, maksudnya adalah yang minim usaha ya. Jadi kalau ada yang korban PHK atau bangkrut tapi masih berjuang mencari pekerjaan atau merintis usaha namun hasil belum maksimal, tolong jangan disamakan. Jelas beda!

Kembali ke ketimpangan tadi. Para perempuan seperti ini, apakah bisa dibilang tuntas Aqil-nya? Menurut Ustadz Aad, belum tentu. Boleh jadi ya, tapi bisa juga tidak.

Ada kemungkinan para perempuan itu mengelak dari tanggungjawab domestik. "Yaudah lah daripada mendidik dan mengasuh anak di rumah, capek. Mending kerja aja. Jelas dapet gaji."

Ada kemungkinan mereka terpaksa, demi dapur yang ngebul. Yang begini punya tanggungjawab, kemungkinan Aqilnya tuntas.

Ada juga yang 'people pleasure', alias ingin menyenangkan orang lain. Nggak enak kalo maksa suami kerja, gak enak sama tetangga, gak enak sama orangtua, mertua dll.

Jadi harusnya gimana, dong?

Dorong suaminya untuk bisa menjadi qawwam. Ingatkan bahwa dia adalah imam keluarga, nahkoda bahtera rumahtangga.

Bantu untuk kembali bangkit dengan membuat usaha baru atau dukung saat ia mencari pekerjaan. Saat mulai menyerah, kasih semangat. Terima lah berapapun yang diberi. Sebagai isteri, jika ingin membantu, niatkan untuk sedekah, bukan mencari nafkah. Dan untuk menyemangati, bahwa rezeki Allah sangat luas.

Nggak berhasil?
Ajak ke psikolog. Mana tau beliau memang punya trauma masa lalu dan butuh bantuan ahli untuk menyelesaikannya.

Tapi sebelum memutuskan keluar meminta pertolongan orang, pastikan kita sudah meminta pada Dia yang menciptakan kita dan seluruh alam semesta, Allah.

Karena kan Allah yang menciptakan manusia sampai ke lubuk hati terdalam dan jalinan jutaan syaraf dalam tubuhnya. Pasti Dia Maha tau apa yang tersembunyi di sana. Memohon lah pada-Nya untuk membantu memberi taufik dan hidayah. Serta kesabaran tanpa batas.

Salam hangat,
Pritha Khalida


Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu