Skip to main content

Anak Perlu Belajar Tentang Hak Milik


Malam ini ada sedikit keru suhan di rumah. Diawali dengan si sulung yang menghampiri saya dan berbisik, "Bunda, #hotwheels Gaza ditempelin label pake selotip sama Bilal. Padahal itu kesayangan semua, ada yang masih mulus banget gak pernah dimainin karena Gaza suka. Lumayan m4hal, bel1nya nabung uang jajan."

Saya lalu menghampiri si nomor dua. Dia lagi menempelkan label nama pada koleksi hotwheels gabungan milik dia dan abangnya. Tampak nama para pemain sepak bola dan nomor punggung masing-masing di situ.

Oh paham, mobil-mobil mainan itu lagi cosplay jadi pemain sepakbola. Nanti dia akan mengatur jalannya pertandingan. Anteng banget anaknya. Tapi di belakang, abangnya udah ketar-ketir takut catnya terkelupas.

"Aa, lagi apa?"

"Nempelin ini, buat pemain bola. Ini Neymar, ini Mbappe ..."

"Aa, sudah izin sama Abang untuk menempelkan label di hotwheels miliknya?"

Ia menggeleng.

"Nah, sekarang tolong dilepas ya. Silakan tempel label di mainan milik Aa aja."

"Nggak bisa, kurang nanti pemainnya kalau cuma punya Bilal, kan masing-masing tim sebelas."

"Paham, sebagian hotwheels milik Abang. Dan Aa harus minta izin untuk mengubah bentuk atau fungsinya. Jika diizinkan, boleh. Jika tidak, ya gak boleh."

"Gini doang loh, ntar juga dilepas lagi."

"Tetap nggak boleh."

"Bentar aja."

Saya menggeleng tegas.

"Dengar Aa, kalau suatu waktu ada yang pinjam mobil kita, trus dia gak suka sama warnanya yang polos. Pas dikembalikan, mobil kita jadi ada lukisannya. Kira-kira Ayah jengkel nggak?"

Ia mengangguk.

"Boleh marah dan minta dikembalikan ke warna semula dengan biaya dari peminjam?"

"Boleh."

"Contoh lain, kalau ada yang menyewa rumah atau gedung. Terus karena misalnya ruangannya kurang, dia bangun ruang baru permanen dalam rumah atau gedung itu, tanpa izin pemiliknya. Boleh nggak?

"Ya boleh, ntar ubah lagi aja."

"Ya nggak segampang itu. Bisa jadi setelah dikembalikan ke bentuk semula pun merusak bangunan asalnya dan pemiliknya nggak suka. Jika begini, dia boleh lho melaporkan pada yang berwajib."

"Tapi Bilal nggak apa-apa tuh kalau Abang atau Ade pinjam mainan trus ntarnya diapain gitu."

"Ya alhamdulillah, tapi kan orang nggak sama. Kita gak bisa maksa orang untuk bersikap kaya kita. Bisa jadi untuk mendapatkan mainan itu, dia harus nabung dulu. Makanya disayang-sayang banget."

"Sama, Bilal juga waktu beli Spiderman pake uang tabungan. Tapi waktu tangannya patah sama Nailah, gapapa."

"Bukan patah, copot. Itu juga kamu nangis dulu, marah dulu. Lalu sama Abang diperbaiki. Nailah pun sudah minta maaf karena nggak sengaja. Ingat, nggak sengaja, dia lagi mainin biasa aja. Bukan lagi dibanting-banting."

Si nomor dua mulai kesal, nangis.

"Aa kesal ya?"

...

"Marah?"

...

"Sedih?"

...

"Nggak apa-apa. Marah aja sekarang, nangis sekarang. Sikap yang keliru harus diperbaiki dan dipelajari sejak kecil, supaya kelak kamu nggak sembarangan melakukan itu saat udah besar. Kamu harus belajar menghargai dan menghormati hak milik orang lain, sekecil apapun itu."

"Cuma hotwheels, Bunda. Nanti juga dicopot lagi, Bilal janji." Di tengah isaknya ia masih mencoba nego.

"A, lihat ini guling milik siapa?"

"Bunda."

"Gimana kalau suatu saat Ayah pinjam dan memotongnya jadi empat? Karena mungkin menurut Ayah, guling pendek-pendek lebih bagus dari yang panjang begini."

"Ya gak boleh."

"Betul, padahal cuma guling. Banyak dan mudah dibeli lagi. Tapi ini bukan perkara banyak atau murahnya, ini tentang menghormati hak milik orang lain."

Ia masih terisak. Saya melebarkan tangan, mau memeluknya. Ia memutuskan menjauh.

Biarlah, nggak apa. Mungkin dia butuh waktu untuk menjauh dan menyendiri. Paling tidaknya malam ini dia belajar satu hal penting.

Dan si sulung, dia juga belajar untuk tidak harus mengalah atas permasalahan yang melibatkan dirinya dan adiknya.

Ya, jangan paksa sulung untuk selalu mengalah. Biarkan ia paham bahwa ia pun punya hak yang boleh dipertahankan. Ini kelak akan membuat dia percaya diri mempertahankan hak miliknya dan asertif jika ada yang merusak atau mengambilnya.

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷


Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu