Skip to main content

Sebuah Nasehat untuk Anak Lelakiku Tentang Menikah Lebih dari Sekali




Berawal dari obrolan tentang seorang mualaf yang masuk Islam karena hendak menjelekkan Rasulullah atas pernikahannya yang lebih dari sekali, reapon anak kedua saya sungguh di luar dugaan.

"Bun, emangnya laki-laki boleh nikah lebih dari sekali?"

"Dalam islam boleh, maksimal empat."

"Tapi kalau isterinya udah meninggal kan? Siti Khadijah juga pas udah meninggal, Rasulullah baru nikah lagi."

"Enggak. Maksudnya betul Rasulullah baru nikah lagi setelah Khadijah radhiyallahu 'anha meninggal, tapi setelah itu beliau bisa punya isteri lebih dari satu dalam waktu yang sama."

"Orang biasa juga boleh? Apa cuma Rasulullah yang boleh?"

"Laki-laki biasa selain nabi juga boleh."

"Ada syaratnya?"

"Bukan syarat, tapi menurut Bunda, setidaknya dia harus punya lima hal ini. Pertama, imannya kuat. Tauhid no satu. Jika dia menikah, niatnya karena Allah semata."

"Kaya gimana niat karena Allah?"

"Untuk memperluas dakwah, misalnya. Kalau isteriku cuma satu, dakwah ini cuma terbatas di kota tempat kami tinggal. Dengan ada lebih dari satu, bisa lebih luas. Ya sederhananya begitu lah."

"Berarti dia sama isteri-isterinya harus bisa dakwah, dong?"

"Betul, itu syarat kedua, ilmunya luas. Dan isteri serta anaknya dia didik sendiri. Betul-betul hasil didikannya. Sampai nggak cuma berilmu, tapi juga memiliki adab yang baik, cinta Allah melebihi apapun. Jadi si isteri saat suaminya nikah lagi, anaknya saat ayahnya nikah lagi, itu ikhlas. Paham bahwa ini demi mencapai hal yang lebih baik kedudukannya di mata Allah."

"Yang ketiga?"

"Uangnya harus cukup. Jangan misalnya gaji cuma sejuta, trus mau membangun keluarga baru."

"Lah segitu mah buat SPP kita bertiga aja gak cukup, Bun."

"Nah itu pinter. Jadi jangan zhalim, kebutuhan keluarga pertama saja belum terpenuhi dengan baik, eh mau membangun yang baru. Udah bisa dipastikan syarat pertama sama keduanya juga gagal itu sih. Mana ada lelaki shalih dan berilmu tega menzhalimi keluarga?"

"Empat, apa?"

"Kesehatannya prima. Ingat, menikah lebih dari sekali bukan cuma jumlah isterinya yang bertambah. Tapi jumlah anak dan mertua. Kalau dua kali jadi berapa?"

"Empat."
"Kalau empat kali?"

"Delapan. Trus kalau kaya Ayah Bunda, anaknya tiga. Kalau isterinya empat, berarti anaknya dua belas."

"Cakep ngitungnya cepet. Nah misalnya isteri yang satu baru selesai melahirkan, tiba-tiba ada kabar, anak di isteri lainnya sakit parah, harus dong segera datang. Lagi di anak yang sakit parah, eh mertua dari isteri yang lain, mendadak dibawa ke RS karena kecelakaan. Masa sih nggak hadir? Di sini butuh banget kesehatan yang baik. Gak boleh ngeluh capek, malas dan semacamnya."

"Ya tapi masa musibah bareng-bareng?"

"Lah itu gambaran pahitnya, yang bisa banget terjadi. Kalau gambaran senangnya mah gak usah dipikirin, tinggal dinikmati aja."

"Oh iya juga ya? Kalau yang kelima, Bun?"

"Ada yang mau. Percuma memenuhi semua syarat itu, kalau setiap yang dilamar enggak mau nerima. Jangan maksa."

"Hahaha, iya yaa ... Kasian amat yang kaya gini."

"Jangan diledek, mungkin memang Allah belum mentakdirkan dia menikah lebih dari sekali."

"Ya sih, tapi ternyata ribet juga ya? Bilal nanti sekali aja, deh."

"Niatkan yang terbaik, bukan cuma berapa kalinya, tapi gimana caranya, berapapun jumlah keluarga yang dibentuk, isteri dan anak tercukupi nafkahnya, terpenuhi kebutuhan tarbiyah-nya, cukup kasih sayang, kebersamaan dan yakin punya visi untuk masuk surga bersama-sama."

Anak itu ngangguk-ngangguk.

Masya Allah Tabarakallah...

Untuk yang berniat atau bahkan sudah membangun keluarga lebih dari satu, coba dicek, sudah terpenuhi belum syaratnya?

Kalau belum, ya gak papa. Itu kan pemikiran saya aja. Coba cek syarat lebih valid yang ada di Al Qur'an saja ya.

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu