Skip to main content

Semua Bermula dari Baju Raya




Seorang ibu memeluk anaknya yang mendamba baju baru, tuk dikenakan di hari raya. Pedih nian hatinya, jangankan baju baru, apa yang hendak dimakan nanti pun belum tampak hilalnya. Hasil berdagang belakangan sepi.

Ia menulis di medsosnya, sekadar meluapkan isi hati, mengenai anak-anak yang sungguh ingin baju baru tapi ia tak mampu.

"Bund, lebaran udah di depan mata nih. Udah persiapan apa aja? Saya belum ada, nih. Padahal anak-anak udah pada minta baju lebaran."

Temannya, si A komen
"Anak tuh harusnya diajarin untuk ngerti kondisi orangtua, Bund. Kaya anak aku, gak pernah minta baju baru buat lebaran. Yang ada aja. Sederhana, gak usah berlebihan."

Lalu hadir coretan jempol si B,
"Baju lebaran bukan kebutuhan primer, jangan terlalu dipikirin. Aku sih mending uangnya ditabung aja buat persiapan anak masuk sekolah."

C tak mau kalah,
"Jangan ngeluh di medsos, Mbak. Ntar jadi bahan ghibah, dikira suaminya nggak merhatiin kebutuhan Mbak-nya. Bisa-bisa malah jadi buka aib suami."

Dan komen-komen lainnya.

Lalu si ibu merasa ...
- Suaminya sungguh tak peka, tak mau bekerja lebih keras supaya bisa mencukupi kebutuhan keluarganya

- Insecure, jadi ibu yang buruk, mendidik anak supaya gak manja sampai minta baju lebaran aja gak mampu. Apalah itu parenting? Jauh tak tergapai.

- Jadi isteri yang tak pandai menempatkan prioritas. Tak bisa menabung untuk hal urgent macam daftar sekolah atau semacamnya. Meski ia berpikir keras, apa yang mau ditabung? Yang ada acapkali nombok.

Ibu itu marah pada dirinya sendiri. Dunianya kini terasa super buruk. Diri yang tak becus, anak yang manja, suami yang tak pandai berusaha.

Ia mulai mengutuk Tuhan dalam hati. Mengapa sungguh tak adil? Orang lain diciptakan mampu memiliki ini itu, bisa mengajarkan anaknya ilmu A sampai Z, bahagia dengan suami yang bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Sementara ia? Rasanya semuanya berbanding terbalik.

Jika sudah begini, salah siapa?

Ibu itu, yang tak pandai menahan diri (dengan caption-nya)?

Atau mereka, yang merasa bahwa semua orang harus 'sehebat' dirinya?

Mari sejenak berhenti, melihat lebih jauh ke dalam hati.

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu