Namanya Dahlia. Di usia jelang tiga puluh lima, ia menjabat sebagai Senior HRD di satu perusahaan perkapalan. Cantik, cerdas dan percaya diri. Nyaris semua orang yang pernah bertemu dengannya akan setuju bahwa dia adalah high quality person.
Satu hal yang bikin orang-orang yang sudah lama mengenalnya heran, kenapa di usia matang ini dia masih single?
Tentu saja orang-orang paham, bahwa jodoh di tangan Tuhan. Tapi keheranan pada seseorang yang tampilannya nyaris sempurna seperti gadis itu, tak bisa disalahkan juga kan?
Nurul mengenal Dahlia sebagai salah seorang terpandai di almamaternya dulu. Setelah lulus S1 Psikologi, ia mengambil master di bidang Psikologi Industri dan Organisasi. Bakat leader-nya sudah tampak sejak ia masih kuliah, sebagai wakil ketua senat fakultas. Semakin terasah di kampus serta kala menjalani profesi sebagai HRD. Tegas namun ramah. Perpaduan yang cukup untuk membuat orang segan tapi tak benci.
Hingga suatu hari, Dahlia membuat postingan yang mengejutkan di WA group kantor dan alumni, undangan pernikahannya dengan Dito.
Siapa Dito?
Tak ada rekan kerja maupun teman kuliah yang mengenalnya.
Sementara dari hasil penelusuran Malya, sang 'detektif kantor', didapati bahwa ia adalah seorang lelaki paruh baya yang mengantarkan anak gadisnya, untuk interview di kantor tempat Dahlia bekerja. Seorang single parent dengan tiga anak, yang juga pemilik sekolah karakter di Bogor.
Penampilan Dito biasa saja, khas bapak-bapak jelang limapuluh. Bertubuh gemuk dengan tinggi badan mungkin seratus emampuluh limaan, karena jika berdampingan, tampak Dahlia yang seratus tujuhpuluh, sedikit lebih tinggi.
Suatu hari Nurul, sahabatnya sejak lama bertanya pada Dahlia, mengenai alasan mendasar kenapa ia mau menikah dengan Dito? Yang notabene belum lama dikenalnya.
Dita tersenyum. Ia tahu bahwa ini pertanyaan banyak orang, namun hanya Nurul yang berani menanyakannya.
"Well, karena dia panggil aku 'Dek'."
"Haah??"
"Gosah histeris gitu dong, Beb."
"That simple? Come on, ini pernikahan, Dahl, bukan main-main. Aku dulu mengajukan banyak pertanyaan pada calon suamiku sebelum mengiyakan lamarannya."
"Iya, Prastya puteri sulungnya shalat dzuhur bersamaku di masjid seberang kantor, setelah interview. Ketika kami keluar, aku melihat seorang lelaki menunggunya di luar. Dia pamit duluan padaku sambil bilang, Udah dijemput Ayah."
"Di situ dia manggil, Dek Dahlia?"
"Enggak. Pertemuan pertama memberi kesan baik untukku. Aku teringat ayahku sendiri yang mengantarku daftar di kampus, hari pertama kuliah, hari pertama bekerja dan banyak momen-momen pertama lainnya dalam hidup. Bagiku laki-laki yang mencintai puterinya dengan sangat, pastilah sosok yang hangat."
"Lalu?"
"Kami ketemu lagi saat aku sedang antri dokter gigi. Dia lagi-lagi mengantarkan puterinya."
"Di situ dia bilang 'Dek Dahlia'?"
"Ya, tepatnya, 'Assalamualaikum Dek, boleh saya bertemu dengan ayahmu?' Aku nggak banyak mikir, kuberikan alamat rumah ayah padanya. Hanya selang sehari, dia sungguh-sungguh datang, berbicara panjang lebar dengan Ayah. Aku tak banyak tanya, hanya kudengar malamnya Ayah menelepon dan bilang, 'Rasanya sudah waktunya memercayakan Teteh pada laki-laki selain Ayah."
"Jadi bukan karena panggilan 'Dek' itu dong kalau panjang begitu prosesnya?"
"Tentu saja itu berpengaruh, Rul. Kau tau, aku anak sulung, cucu paling tua pula di keluarga ayah maupun ibu. Banyak orang termasuk paman, bibi dan nenek kakekku memanggil 'Teteh'. Nyaris tak pernah aku mendengar orang memanggilku 'Dek'. Kau tau, aku merasa ada sesuatu yang berbeda dengan panggilan itu. Sebuah janji bahwa si pemanggil akan menjagaku, melindungiku, memanjakanku. Lain dengan panggilan 'Teh' dimana aku diharapkan memberi teladan, memikul tanggungjawab dan mencintai adik-adik."
Nurul mengangguk paham.
"Gak usah disebarin ke teman-teman, ya!"
"Enggak."
"Kok aku ragu dengan jawabanmu?"
"Aku cuma akan post di blogku."
"Aaah! Salahku curhat sama penulis!"
Pritha Khalida 🌷
Comments
Post a Comment