Skip to main content

Kenapa Pedagang Sebaiknya Gak Dikasih Sedekah?



Pagi tadi si nomor dua ikut saya jogging. Bukan ikut sih, tepatnya saya suruh ikut karena isengnya lagi kumat. Adiknya dibikin nangis.

Dan begitulah anak-anak, eh anak saya tepatnya. Emaknya olahraga, dia ayunan di pinggir lapangan. Kadang jongkok liatin apa tau di rumput.

Pas selesai, "Jajan ya?"

"Tadi akadnya cuma beli penggaris, lho."

"Ya kan gak papa, bonus. Ke Indomacet ya?"

"Gak bawa kantong."

"Bilal pegang pake tangan."

"Janjian dulu mo beli apa?"

"Nanti dikasih tau."

"Satu macem?"

"Oke!"

Di perjalanan menuju minimarket, kami ketemu pemulung kakek tua. Saya menghampiri sebentar, memberi sedikit uang. Kakek itu tampak senang, berterimakasih dengan sungguh-sungguh.

"Kasian ya, Bun. Udah tua masih mulung. Kok anaknya gak ngurusin dia?"

"Eh jangan gitu, mungkin gak punya anak. Atau ada tapi jauuuh."

"Atau emang dia aja pengen mulung."

"Nah, mungkin."

Beberapa langkah lagi tiba-tiba, "Bunda, Bapak yang di seberang itu buta ya?"

Si nomor dua menunjuk pada seorang bapak dengan gembolan plastik dan tongkat.

"Iya bener."

"Kasih uang, Bun. Kasian."

"Bentar, itu di gembolannya dia bawa apaan? Jualan kayanya."

Pas udah agak deket, ternyata betul, dia jualan kerupuk kulit. Kami pun membeli beberapa bungkus.

Sesaat setelah berlalu, si nomor dua nanya, "Hebat ya, meskipun buta dia masih usaha nyari nafkah. Apa gak takut jatuh atau kesandung?"

"Itulah, Allah Maha adil. Matanya ditutup tapi enggak dengan hatinya. Allah kasih kepekaan lebih dari orang yang bisa melihat dengan mata."

"Kenapa Bunda gak sedekah aja? Gak usah beli kerupuknya?"

"Lho, dia jualan."

"Tadi pemulung, sedekah. Apa bedanya?"

"Apa yang harus Bunda beli dari pemulung?"

"Kasih rongsok."

"Rongsok di rumah kan udah fix punya Aki. Tiap dua minggu dia ke rumah."

Aki, panggilan kami pada seorang pemulung tua, yang kalau malam jadi tukang parkir di sebuah kedai bakso di kompleks. Beliau rutin ke rumah setelah sekali kami kasih rongsok cukup banyak. Mamam pun beberapa kali menambahkan sedikit uang untuknya.

"Ya kenapa kalau ke orang jualan, kita gak sedekah, tapi ke pemulung atau pengemis sedekah?"

"Pengemis itu pada umumnya dhuafa. Orang jualan, itu karena dia menghindari diri dari mengemis, Aa. Jika kita bersedekah, boleh jadi dia kurang suka atau sedih. Atau harga dirinya terluka. Karena ya dia sungguh ingin mendapatkan uang dari hasil jerih-payahnya. Sementara pemulung, kita kan ketemu mereka di jalan, gak di rumah yang ada barang bekas atau apa untuk dikasih. Lagipula menurut Bunda sih ya, lebih kasian aja. Berapa sih kardus, botol atau rongsok lainnya kalau dikiloin? Mereka mulung karena udah susah dapet kerja. Mau jualan, gak ada modal atau gak ada orang yang mau percayain dagangannya."

"Bun, kalo ada orang jualan, trus kita gak suka barang jualannya, tapi kita kasian. Tetap gak boleh sedekah?"

"Ya boleh aja. Tapi hati-hati, khawatir dia nggak enakan. Kalaupun mau sedekah, beli aja barangnya, lebihin bayarnya."

"Kalau gak suka?"

"Kalau Bunda sih tetap beli asalkan barangnya halal dan baik. Misalnya dia jualan jengkol. Bunda gak suka jengkol, tapi Ibu X (sahabat saya, rumah kami cukup dekat) suka. Ya Bunda wa aja dia, mau jengkol gak nih. Ada yang jualan. Kalau dia mau, Bunda beli traktir buat dia. Ingat ya, halal dan baik patokannya. Jadi jangan karena kasian, tapi dia jualan buah yang udah busuk, tetap dibeli."

"Oh iya iya ngerti."

Teman-teman, ini pandangan saya saja terkait ragam cara berbagi dengan sesama. Mungkin akan ada pendapat berbeda, tak mengapa. Silakan pakai cara masing-masing. Asal sesuai syariat, insya Allah benar dan baik. Yang salah itu kalau nyalahin orang tapi enggan berbagi.

Dan sungguh, tak sedikitpun ada niat riya di sini. Hanya ingin berbagi obrolan kami hari ini. Sepenggal #DialogIman yang semoga bisa menginspirasi.

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

Source pic
https://bit.ly/3LoeFBW

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu