Skip to main content

Saat Mendengar Kisruh Rumahtangga Orang Lain, Kita Ngapain?



Sepekan ini sungguh hectic jagat FB dengan berita tentang seorang perempuan yang menuliskan keburukan perempuan lain, yang merupakan kakak madunya.

Sungguh, tadinya saya nggak pengen ikutan. Apaan sih, urusan rumahtangga orang lain, yakan? Kita nggak tau apa yang sesungguhnya terjadi di dalam sana. Pasti masalahnya bukan cuma yang tampak di luar, apalagi yang tertulis. Karena boleh jadi itu sangat subjektif.

Tapi masalah ini ternyata melebar, memanjang. Dalam matematika, panjang kali lebar itu apa? Bener, luas! Masalahnya jadi meluas (mungkin) karena subjeknya terkenal. Sampai belakangan sudah akan diproses masuk ranah hukum.

Saya nggak akan berpanjang lebar di kasusnya. Bismillah mendoakan saja. Semoga yang benar, Allah menangkan, sehatkan, kuatkan. Yang salah, Allah sadarkan.

Hanya ada obrolan dengan seorang sahabat, saat saya tanya, "Dosa nggak sih kita bahas orang yang buka aib orang lain dan justru malah kaya buka aib sendiri?"

Dia bilang, entahlah perihal dosa, bukan ranahnya untuk menentukan. Tapi ada satu hal yang dia sampaikan dan bikin saya tertegun.

"I was there. Suamiku kepincut sama perempuan lain, dan aku difitnah mulai dari g1l4 lah dan yang lainnya. Kebayang gak sih, aku saat itu dengan anak-anak yang masih kecil-kecil, berjuang untuk tetap waras, supaya anak-anakku bisa tetap hidup normal?"

Saya diam, merinding membayangkan situasinya. Yang sebelumnya sudah saya ketahui, tapi mendengarnya ulang meski sudah lewat bertahun-tahun, tetap perih.

"Saat ada orang yang peduli, mengulurkan tangan untuk membantu atau sekadar jadi pendengar tanpa penghakiman, itu tuh kaya nemu oase di padang pasir. Nyess banget, seger. Bayangkan kalau semua orang saat itu berpikir untuk nggak mau ikut campur urusan rumahtangga orang lain, aku beneran bisa g1l4 kali."

Hmm ... iya juga, sih.

"Kadang ya, ada yang bilang, udahlah kita gak tau dalemnya kaya apa. Atau, belom tentu juga dia bener, coba denger dulu penjelasan pihak satunya. Mungkin suaminya gitu justru karena disakiti duluan. Terdengar bijak, ya? Padahal enggak. Nyakitin. Yakali ada perempuan yang sengaja mau nyakitin suaminya supaya dia berpaling? Kan enggak. Ya kecuali dia emang udah gak pengen mempertahankan rumahtangganya. Dan aku bukan orang kaya gitu."

Saya menghela napas. Masalah rumahtangga acapkali memang serumit ini. Makanya bener banget kalau ada yang bilang, pernikahan itu ibadah yang paling panjang, karena ya memang jauh lebih lama dari shalat atau bahkan umroh dan haji.

"Kamu tau yang lebih tega? Saat ada orang bilang, gak usah ikut-ikutan, kita udah belain cape-cape, eh besoknya dia udah keramas lagi. Ya mungkin ada yang memang bermain-main di ranah ini. Yang kaya gitu nyebelin. Bikin orang jadi gak percaya andai terjadi lagi kasus buruk dalam rumahtangganya."

Ah saya jadi teringat, saat seorang sahabat bercerita tentang suaminya yang dekat dengan temannya. Entah di medsos, atau dalam keseharian. Saya mendengarkan perihnya. Eh nggak lama malah saya yang dituduh merusak rumahtangganya oleh sang suami dan perempuan yang diceritakan itu. Astaghfirullah!

Tapi alhamdulillah sih saat itu saya nggak jengkel dan bilang, "Huh, gue udah cape denger, hibur, eh gue yang dimarahin. Trus lo udah keramas lagi!"

Jangan sampe, niat bantu karena Allah, rusak karena manusia.

Olrait ...
Dari obrolan dengan sahabat tadi, saya belajar beberapa hal penting tentang kasus rumahtangga, yang semoga bermanfaat untuk direnungkan :

1. Saat ada orang bermasalah dengan rumahtangganya, apalagi teman baik yang biasanya terpercaya, jika dia cerita, maka dengarkanlah. Ikut emosi wajar, namanya manusia punya perasaan. Tapi belajarlah untuk mengontrol, jangan kebablasan. Mengontrol emosi selain baik untuk mental kita, juga bikin kita bisa tetap berpikir logis, mencoba mengimbangi orang yang lagi terluka. Syukur-syukur bisa ngasih solusi yang baik.

2. Tanya pada pencerita, adakah yang bisa dibantu? Sekadar traktiran makan siang, hadiah berupa benda yang sekiranya dibutuhkan atau apa lah. Percayalah, ini bisa mengurangi bebannya. Setidaknya orang yang lagi di posisi ini punya harapan, bahwa masih ada yang mencintai dan peduli padanya.

3. Kalau memang kompeten, silakan maju untuk bantu menengahi. Tapi ya itu, high risk. Biasanya cuma profesional yang siap dengan segala resikonya.

4. Doakan, jika memang kita nggak mau terlibat. Doakan supaya dia mendapat penyelesaian terbaik. Doakan diri sendiri juga, supaya Allah jaga dan nggak Allah kasih ujian yang sama.

5. Jangan mempengaruhi orang untuk membenci satu pihak dan memuji lainnya. Bencilah pada sikapnya yang keliru. Cintailah sikap yang terpuji. Karena jika kita terpaku pada sosok 'person' maka bisa membuka pintu subjektif.

"Udahlah dia berilmu tinggi, kita cuma remah rangginang, jangan diusik."

Atau sebaliknya, "Dasar pela*or, udah gak ada bagus-bagusnya sama sekali."

Jangan ya, jangan. Kala kita membenci atau mencintai seseorang secara personal, ntar pas dia taubat, kita masih benci. Ya kita yang dosa, Bestie.

Dari 'Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash, Rasulullah bersabda,

"Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahhu wa Ta'ala akan memalingkan hati manusia menurut kehendak-Nya." (HR. Muslim no. 2654).

Jadi selalu lafalkan doa ini, "Yaa muqolibal qulub tsabbit qolbi alaa diinik. Wahai Allah Sang pembolak-balik hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu."

Apapun pilihan kita, berempati atau menahan diri, pastikan itu karena Allah.

Salam hangat,
Pritha Khalida🌷

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu