Skip to main content

Agar Pengorbanan Berujung Bahagia


Semalam seorang sahabat curhat. Tentang dirinya yg katanya lg mengenali masalah.

Namanya sahabat, saya tau lah masalah dia. Seputar cape karena selalu sibuk berjuang dan berkorban untuk orang yang dicintai (keluarga). Sementara dia sendiri ngalah untuk menunda kebahagiaannya.

Bagus kan begitu?
Memang sudah seharusnya kan?

Betul, nggak ada yang salah berkorban untuk orang yang dicintai. Tapi kalau saya ya, ini sebagian saya pelajari juga dari Ustadz Adriano Rusfi, Psikolog. Bahwa berkorban itu ada caranya.

1. Luruskan niat karena Allah
2. Susun strategi supaya nggak hancur setelah berkorban
3. Kalau caranya bener, akhirnya bahagia, bukan nestapa

Misalnya gini, ada 2 orang yang mau berkorban demi ibunya yang single parent dan nggak punya penghasilan.

Yang satu, asal korban aja dengan ngasih sebagian gajinya ke ibunya. Buat dia mikir belakangan. Yang penting ibu tercukupi.

Sementara yang kedua, sama dia sisihkan sebagian gajinya ke ibunya, atas dasar ketaatan pada Allah. Tapi sebelumnya sudah diatur strategi hidup dengan uang pas-pasan. Antara hemat dan cari peluang penghasilan tambahan. Dah bismillah deh.

Asumsikan gajinya sama, tinggal di kota yang sama.

Perhatikan, hasilnya bisa beda.

Yang pertama, kemungkaran bawaannya melow melulu. Nangisin nasib, kenapa kok gini amat jadi #SandwichGeneration ? Trus pas liat adik atau kakaknya yang gak sebesar dia effort-nya untuk sang ibu, jadi mangkel sendiri. Auto membandingkan, padahal dia lebih mampu lah atau apa.

Yang kedua, karena sudah perhitungan matang, niat sungguh-sungguh karena Allah, insya Allah lebih tenang. Gakan bete kalau liat kakak/adiknya nggak memiliki pengorbanan sebesar dirinya. Karena husnuzhan, bisa jadi ada utang mereka yang ditutupi atau kebutuhan anak-anak mereka sangat besar. Hidup yang pas-pasan pun akan disyukuri. Bahkan mungkin sempat bertutur dalam doanya, "Ya Allah, saksikan birrul walidain aku. Mohon jadikan pemberat timbangan amal di hari akhir nanti."

Siapa coba yang nggak bahagia membayangkan timbangan amalnya memberat?

Bukan, "Ya Allah aku hidup susah gini demi Ibu, kakak aku travelling mulu.

Meski mungkin kenyataannya gitu, orang Type no 2 gak akan terlalu peduli. Paling sekadar mengingatkan, selebihnya ya udah. Karena orang kaya gini yakin, ntar pas baris di Hari Perhitungan, gak akan bisa sharing amal atau ngasih surat buat orang dalem. Dah fokus aja sama amal masing-masing.

"Aku mencoba #ButterflyHug." Begitu katanya.

Saya nggak terlalu paham konsep ini. Sedikit yang saya pahami ini semacam memeluk diri sendiri secara mendalam, untuk menguatkan bahwa gak papa gak baik-baik aja, udah hebat melangkah sejauh ini dan menguatkan kedepannya.
(Cmiiw)

Boleh jadi ini baik untuk sebagian orang. Tapi kalau memang konsepnya begini, bagi orang muslim, apa nggak lebih baik menggelar sajadah pada dini hari, tahajjud dan minta ampun atas segala dosa lalu mohon bimbingan kedepannya. Karena hanya Allah kok yang akan selalu memeluk hamba-Nya meski udah berlumur dosa sekalipun. Meski seluruh manusia lain sudah membenci dan ngeluarin dia dari grup watsap manapun. Allah akan tetap merangkul jika dia kembali dengan sungguh-sungguh. Bahkan jika diri sendiri pun sudah underestimate.

Yuk sama-sama renungkan. Saya menulis ini bukan Karena merasa lebih baik. Melainkan karena pernah mengalami merasa di titik terendah keimanan, nggak tau harus ngapain. Saat itu Allah dengan rahman dan rahim-Nya, mengangkat saya.

Jika itu terjadi pada saya, maka pasti akan terjadi juga pada teman-teman.

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu