Skip to main content

Belajar Bisa dari Mana Saja


Belajar bisa di mana saja, kapan saja dan pada siapa saja. Termasuk di kedai kopi selepas pulang dari dokter.

Sore itu beberapa bulan lalu, saya dan si sulung baru selesai berobat di satu RS di Bandung. Liat diagnosa agak-agak keliyengan ya, jadi memutuskan untuk gak langsung pulang.

Eh si sulung minta masuk ke kedai kopi yang posisinya pas di sebelah RS. Sebuah kedai kopi yang sebenernya nggak terlalu cocok buat kantong saya saat itu, tapi saya yakin ada sesuatu yang bisa dipelajari di sini.

Betapa bahagianya si sulung. Untuk pertama kalinya dia beli kopi yang per-cup lebih dari selembar uang biru. Saya suruh dia milih menu sendiri, bayar sendiri dan jangan lupa bilang terimakasih.

Ya ampun lama banget, ternyata dia sempet nanya beberapa hal, yang ini pahit gak dan entah apa lagi.

Dan ketika pesanannya tiba ...

"Enak?"

"Hmmm, enaak bangeet!" Matanya merem, lidahnya melet-melet nyeruput es krim di atas kopi.

Nggak lama kemudian dia nyeletuk, "Ini kopi dibikin dari campuran kopi, susu, cokelat, krimer trus diteplokin es krim di atasnya. Kalo bikin sendiri kopinya sekian, susu sekian, beli es krim kotakan. Mungkin belasan ribu. Brati untungnya mapuluh ribu lebih!"

"Yakin? Sewa tempat ini, berapa? Gaji karyawan, listrik, modal sofa, meja, alat pembuat kopi, gelas plastik dll ... sudah dihitung? Oh jgn lupakan wifi gratis."

Lalu dia terhenyak, "Eh iya ya?"

Setelah separuh kopinya habis, dia ngomong lagi, "Orang di sini bisa lama cuma pesan kopi satu, sambil ngobrol, meeting, internetan gratis. Gak diminta bayar apa-apa lagi ya?"

Saya mengangguk.

"Enak banget, adem. Trus keren kalo foto upload di IG."

"Kalo beli kopi bikinan kamu yang gak sampai dua puluh ribu tadi, dapet gak?"

"Itu modalnya."

"Ok anggaplah kamu jual dua lima. Dapet ini smua gak?"

"Gak."

"Ada yang percaya gak beli kopi ke anak SMP tanpa pengalaman kaya kamu?"

Dia nyengir.

Anak ini sejak kecil kelihatannya berbakat jd pedagang. Dia nggak pintar math, tapi kl hitungan jujualan, segala selisih sampe prosentase, cepet. Masya Allah Tabarakallah.

Harus banyak melihat dunia dari segala sisi, supaya kelak jika jadi pengusaha, mampu menelaah beragam hal dari sudut pandang yang luas.


Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu