Skip to main content

Rahasia Rasta


Rahasia Rasta
#Fiksi Pritha Khalida

Malam beranjak larut. Seluruh anggota keluarga sibuk mengurut kaki, pinggang, bahu dan apa saja yang dirasa pegal setelah seharian mengenakan kebaya dan jas.

Meski hanya menggelar pesta kebun yang terbilang sederhana untuk pernikahan Renata, tamu yang hadir nyaris tanpa jeda. Mulai dari rekan bisnis Pak Surya, teman arisan dan alumni sekolah Bu Isye, serta sahabat kedua mempelai.

Meski Renata merupakan puteri bungsu, tapi acara pernikahan ini bukanlah penutup. Riza si anak tengah sudah melepas status lajangnya dua tahun lalu. Tersisa Rasta si sulung. Usianya sudah tiga puluh satu. Jangan tanya perawakan. Tinggi atletis berkulit putih dengan rambut ikal. Memiliki bisnis lembaga bimbingan belajar yang sudah ada dua cabang di ibukota. Rasta tentu sudah cukup mapan untuk membangun rumahtangga. Namun entah mengapa, takdir itu belum juga menghampirinya. Yang bersangkutan pun kalau ditanya hanya tersenyum saja. Tanpa sedikitpun penjelasan. Bikin penasaran.

"Temen Mami ngira kamu suka sama laki." Suatu hari Bu Isye membuka percakapan saat putera sulungnya berkunjung. Rasta tinggal di apartemen yang tak jauh dari rumah.

"Biar aja, mungkin mereka kurang bahan ghibah." Rasta nyengir. Gayanya masih sama dengan ia bertahun-tahun lalu saat masih ABG.

Hingga pada suatu hari, Rasta datang dengan mengemudikan sebuah mobil SUV baru, bukan motornya yang biasa. Mami yang membukakan pintu, terkejut melihatnya. Sejenak ia berhitung singkat. Wajar sih, penghasilannya sudah cukup untuk itu.

"Wah masya Allah, anak Mami punya mobil! Mami sekarang gak akan kehujanan lagi kalau ke pasar!" Seloroh Bu Isye menyambut putera sulungnya.

Rasta tersenyum tipis, "Bagus nggak, Mi?"

"Bagus lah. Eh ini punya kamu kan? Bukan pinjem?"

Rasta menggeleng, "lah Mami kaya gak pernah naik mobil aja. Btw, bagus mana sama Kijang baru Papi yang waktu itu?"

Mami terhenyak, tak menyangka anaknya akan bertanya demikian. Bagai diputar ulang, satu kejadian pahit di masa lalu terulang utuh di benaknya.

"Papi mana, Mi?"

"Eh, apa?"

"Mami mah ngelamun mulu, ubannya makin banyak lho!"

"Ah kamu, bisa aja! Biasa lah di belakang, lagi ngurusin burung."

"Itu mulu, ganti landak kek atau iguana." Rasta segera menuju halaman belakang.

Perasaan Bu Isye mendadak tak enak. Ia membuntuti anaknya. Dari balik kaca, dilihatnya dua lelaki itu berbincang. Rasta berjalan, di belakang papinya mengikuti. Jantung Bu Isye berlompatan tak karuan, entah kenapa.

Sesampainya di teras rumah, saat pandangan Pak Surya tertuju pada mobil hijau Rasta dan si sulung mengangsurkan kuncinya, perasaan tak enak itu pun menemukan jawabnya.

"Ini untuk Papi, sebagai ganti mobil yang dua puluh lima tahun lalu kugambari pakai batu. Aku tau kalau itu mobil keluaran baru, mahal sekali. Bodohnya, kupikir Papi akan senang saat sepanjang body-nya kutulisi 'I love Papi', 'Thank you Papi' dan 'Mobilku keren'. Tapi ternyata itu membuat Papi rugi banyak, hingga menghasilkan ini." Rasya menunjuk bekas luka di tangannya.

Bu Isye menangis tersedu. Ia yang awalnya berdiri menatap dua lelaki yang dicintainya, kini sudah tersungkur di samping sofa. Sungguh tak menyangka kejadian itu akan sangat membekas dalam diri putera sulungnya. Suaminya sungguh kalap saat itu, lalu memu kuli anaknya dengan gagang sapu. Ada lebam, ada luka. Sang Mami lah yang mengobatinya.

Satu persatu lukanya pulih, tapi ada satu yang tak hilang hingga kini, di pergelangan tangan kanan Rasta. Itulah kenapa, berbeda dengan adik-adiknya yang selalu mengenakan jam di tangan kiri, Rasta di tangan kanan.

Lelaki paruh baya itu menangis. Kunci mobil yang dijejalkan putera sulungnya terjatuh di lantai teras. Perih hatinya saat tau bahwa Rasta masih mengingat semua itu.

Air muka Rasta dingin nyaris tanpa ekspresi. Dihampirinya ibunya, "Utang aku sama Papi mungkin nggak akan pernah lunas, mengingat jasa Papi membesarkanku sejak bayi. Tapi paling tidak, aku bisa ganti mobil kebanggaan Papi. Rasta pamit, ya. Assalamualaikum." Pemuda itu mencium tangan ibunya dengan takzim dan memeluknya.

Perlahan tapi pasti ia melangkah meninggalkan rumah masa kecilnya, dengan sepasang suami isteri yang tenggelam dalam tangis masing-masing.

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu