Skip to main content

Ranah Juang Anak Gadis Sebagai si Bungsu



Di acara kajian kemarin, kami duduk di ujung, berdekatan dengan dus air mineral. Setelah gelas-gelas dibagikan, tersisa selembar kardus pembatas.

Bukan main senangnya anak gadis. Dia memang hobi main DIY craft ala-ala. Jadi kardus dkk ini semacam 'harta karun' buatnya. Nurun dari Bundanya? Oh tentu bukan, thanks to crativity n youtube 🤭

"Yah gak bawa spidol atau gunting." Ia sempat mengeluh. Tapi nggak mati gaya, itu kardus dia mainin dengan beragam gaya. Disusun dengan gelas air mineral, disandarkan ke pembatas ikhwan-akhwat dan lain-lain. Pokoknya jadi mainan yang bikin anteng. Masya Allah alhamdulillah. Padahal kalau di tangan emaknya, paling jadi kipas.

Tiba-tiba ibu-ibu di depannya melihat ke arahnya dan bertanya, "De, itu dipake nggak? Ibu gerah banget nih."

"Oh dipake," jawabnya santai, dengan tone suara yang lempeng.

Glek! Berani juga anak ini. Saya membandingkan dengan diri sendiri di usia yang sama. Kalau ada orang dewasa ngomong gitu, pasti gak enak, sungkan atau takut. Intinya itu kardus udah bisa dipastikan pindah tangan. Tapi anak ini nggak. Dengan sopan dia ngasitau bahwa itu miliknya dan nggak bisa diminta meski orang lain menginginkannya. Asli sopan, gak bete. Masya Allah.

Dalam hati saya mikir, ini mungkin pengaruh dia sebagai anak bungsu yang dikelilingi dua kakak laki-laki yang katakanlah sering ngisengin. Jadi dia terlatih 'fight' mempertahankan milik dan bernegosiasi. Sementara saya, 11 tahun jadi anak tunggal, cucu pertama pula. Nggak terlatih untuk itu. Ranah juang saya di sisi lain, sebagai 'penanggungjawab'.

Ditambah jaman dulu parenting belum berkembang kaya sekarang ya. Jadi Mamam masih terbiasa untuk nyuruh anak sulungnya berbagi dan mengalah sama adik-adik sepupu.

Setiap status dan posisi selalu mengandung hikmah. Tinggal gimana kita bisa memahami dan menerima kekurangan (lalu perlahan memperbaiki) dan mengoptimalkan kelebihan.

Makasih ya, De. Bunda belajar tentang ketegasan dari Ade.

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu