Skip to main content

Kisah Sang Ratu dalam Tawanan


Baru saja saya menonton tayangan Ustadz M. Husein yang membacakan surat dari seorang warga Yahoodee bernama Danielle. Isinya kurang lebih tentang bagaimana kondisinya selama menjadi tawanan Hermes (ini tulisan pada dipelesetin, jadi tolong kalau komen gak usah lengkap amat). 

Dalam surat yang ditulis menjelang perpisahannya dengan Hermes, Ibu Danielle ini keliatan banget sedih dan haru. Dia berterimakasih karena selama ada di markaz Hermes, baik dia maupun puterinya Emilia (6th) diperlakukan dengan sangat baik, layaknya ratu (iya dia nulis gini).

Gimana nggak jadi ratu, kapanpun Emilia pengen main, diladenin. Suka dikasih manisan, buah-buahan dan lainnya. Yang gak ada aja, diusahain. Padahal kondisi lagi sulit. Yaiya kan lagi per4ng, bukan staycation. 

Jadi nggak ada tuh sama sekali kesedihan, penderitaan atau bahkan trauma di diri Danielle dan Emilia. Dia udah merasa bestie sama pasukan Hermes. Bahkan di suratnya juga dia menyatakan salam perpisahan, mendoakan agar para pejuang senantiasa selamat dan sehat. Begitu pula dengan keluarganya. 

Emang boleh surat perpisahan sasyahdu itu?

Ini membuktikan bahwa Islam rahmatan Lil 'alamin, Rahmat untuk seluruh alam. Masa iya zhalim?

Teman-teman, ada banyak banget hikmah terserak dari Gza. Dari satu kisah ini aja, saya belajar tentang kesabaran menghadapi anak usia di bawah 7 tahun. Menghibur, menggembirakan, memberi hadiah dan mengupayakan pinta merupakan cara terbaik memperlakukan mereka. Apalagi anak perempuan. Biar mereka merasa jadi ratu atau puteri. Ya pokoknya merasa istimewa lah. 

Diperlakukan begitu nggak akan bikin mereka ngelunjak, kok. Ini justru bisa meningkatkan kepercayaan diri dan self-esteem. Bikin anak merasa berharga. Apalagi kalau dilakukan oleh ayahnya. Kelak saat sudah baligh akan membuat anak nggak akan bucin sama laki-laki yang baru dikenalnya di luar sana. 

Yuk sama-sama kita terapkan. Yang sudah, Alhamdulillah, semoga Istiqomah. 


Salam hangat,

Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu