Skip to main content

Mendidik ala Ibu di Gaza


 Empat puluh hari sudah serangan sirewel ke kiblat pertama umat Islam dilakukan. Sekitar 11rb orang syahid, dimana lebih dari separuhnya adalah perempuan dan anak-anak.

Saya jujur saja nggak berani melihat foto atau video yang bersimbah da rah. Selain phobia juga tak tega. Tapi tentu saja ini tak mengurangi simpati saya pada mereka.

Di penghujung 2008, untuk pertama kalinya saya memahami sungguh-sungguh mengenai sejarah si tukang klaim tanah orang lain. Tak lama saya hamil. Satu nama terpancang, jika laki-laki G*za. Alhamdulillah Allah kabulkan.

Sejak dalam kandungan, anak ini sudah akrab dengan video dan bacaan tentang negeri para Nabi itu. Bahkan ketika ada masalah dengan kandungan saya kala itu, saya memohon pada Allah untuk menyelamatkan anak ini dengan berbuat sedikit kebaikan untuk masyarakat yang sedang struggle di sana.

"Allah, izinkan hamba-Mu yang imannya jauh dari para shahabiyah ini, memiliki putera yang kelak akan memiliki kekuatan, kecerdasan dan keberanian laksana anak-anak dan para pemuda P❤️lestin❤️."

Nyaris empat belas tahun beralu dari kelahirannya. Sepanjang itu pula saya belajar tentang ketangguhan para Ibu di G*za. Mereka yang saat tidur terbiasa menutup aurat, karena serangan bisa datang kapan saja. Sehingga harus bersiap, agar saat ajal menjemput, aurat dalam keadaan tertutup.

Masya Allah, gak ada cerita gerah. Gak kaya saya yang di musim kemarau lalu sampai pamer suhu 37°C di medsos.

Para supermom yang melahirkan SC tanpa obat bius karena persediaan terbatas. Apa penahan sakitnya? Al Qur'an! Cuma orang dengan keimanan maksimal yang bisa tahan bertaruh nyawa saat melahirkan proses SC pake the power of Asy-Syifa atau penyembuh langsung dari Allah.

Oh tentu saja saya bukan mau bilang kalau yang dibius itu gak beriman. Beda konteks, Bestie. Setiap proses melahirkan dengan metode apapun, bukan hal yang mudah. Maka terhitung jihad di hadapan Allah.

Dari situ akhirnya saya paham, "Oh pantes P❤️lestin❤️ bisa mencetak mujahid kualitas no wahid, nggak kaleng-kaleng. Ya gimana ibunya lah. Sekuat dan setangguh itu ibunya, maka secara genetik itu menurun. Baru efek keturunan tuh, belum cara mendidik dan mengasuh.

Udah liat kan foto dan video yang viral saat mereka mengungsi? Para ibu dengan bawaan banyak di pundaknya, masih harus menarik dua stroller ala kadarnya yang diisi oleh anak-anak mereka yang masih kecil-kecil, menempuh perjalanan 8-9Km atau lebih ke Selatan. Di tengah panas debu. Gak ada cerita mager. Life goes on. Perjuangan belum selesai.

Maka gak heran jika dari sana terlahir 4bu Ub41d4h, 4bu H4mzah dan para pahlawan penjaga Al Aqsa nan gagah berani idola kita belakangan ini. 

Rumusnya cuma 1, Iman!

Dengan iman yang kuat, hubungan kita dengan Rabb akan senantiasa terjaga. Karena yakin banget kalau Allah akan selalu ada jadi pelindung. Shalat sebagai tiang utama, dipastikan selalu kokoh. Karena tau, ini adalah penguat diri. Al Qur'an nggak pernah seharipun luput. Karena di sini rumus utama keberanian itu bersumber.

Siap seperti itu, Buibu?

Kalau masih mau santuy rebahan, goyang toktok yang penting happy, mudah baper dengan fiksi cengeng dan hal lain semacamnya, maka perjalanan kita mencetak calon pembebas Baitul Maqdis seperti Sayidina Umar dan Shalahuddin Al Ayyubi, sungguh masih jauh.

Yuk bangkit bersama, Bu. Saling mengingatkan. Berpegangan erat. Jangan saling melemahkan, apalagi jika hanya untuk meninggikan diri.


Salam hangat,

Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu