Skip to main content

Tragedi Opor Ayam


Siapa di antara kalian yang baru belajar masak setelah menikah, cuung?


Apa, gak ada? Udah pada Masterchef dari lahir? Baiklah, kita gak satu team kalo gitu 😌

Ibu saya jago masak, menjahit, menata rumah dan lainnya. Entah kenapa beragam bakat keterampilan itu nggak ada yang menurun pada anak sulungnya. Masak, lewat. Jahit apa lagi. Menata rumah? Ya seadanya aja.

Bahkan padu-padan warna yang merupakan keahlian ibu saya satu lagi, yang kayanya paling mudah di antara lainnya, saya masih failed. Yaudah sih gapapa, alhamdulillah masih hidup sehat wal afiat, yakan?

Tapi pemikiran gak bisa ngapa-ngapain itu harus diubah setelah menikah, setidaknya begitulah pemikiran saya saat jadi pengantin baru dulu. Emang suami gak nyuruh, tapi kan kasian amat sih ya tiap hari kami beli makanan gantian dari satu warung ke warung lainnya, mulai dari warteg, Padang, Betawi sampai khas sunda.

Akhirnya saya ... mulai belajar masak?
Oh enggak, saya memulainya dengan ngumpulin buku resep masakan. Dulu tahun 2008 mata saya belum terbiasa nyari resep masakan di internet. Lagipula kan belum punya smartphone, masa timbang nyari resep aja buka laptop. Udahlah kuotanya kan mahal.

Laah kok jadi curhat?

Setelah mengoleksi buku resep, saya lalu mulai ... memasak? Belum sodara-sodara. Saya nyicil beli wajan, ketel, sutil dan lainnya yang bentuk dan warnanya lucu.

Kelamaan, Prith ...
Iya oke, abis ini masak, beneran!

Setelah beberapa kali masak sayur bening, tahu tempe dan perkedel, saya lalu memberanikan diri berniat masak Opor Ayam!

Sejak semalam sebelumnya, saya udah catet bahan-bahannya di HP, buat dibeli besoknya di tukang sayur. Sip oke bismillah.

Kenyataan seringkali gak sesuai dengan harapan. Besoknya ujan deras banget. Saya gak jadi ke tukang sayur. Lagian biasanya dia nggak jualan, lah wong jualannya ngampar dadakan di pinggir jalan. Sarapan kami mie instan pakai telur dan rawit.

Sore harinya pas mau cari lauk buat makan malam, eh ternyata ibu penjual sayur di tempat biasa itu jualan, lho! Oh mungkin karena ujan pagi tadi, jadi pindah sore. Berniat bikin surprise buat suami sepulang kantor, saya pun batal beli lauk. Fix bikin opor ayam!

Bahan-bahan dibeli sesuai dengan catatan di HP. Hihii, saya bersemangat sekali. Sejarah akan mencatat, saya membuat Opor Ayam yang enak banget di kali pertama.

Sesampainya di rumah (kontrakan), saya buru-buru menyiapkan semuanya. Suami pulang biasanya jam 7 malam. Saat itu baru setengah 6. Ok cukup lah waktunya.

Saya menjerang air, mencuci bahan-bahan, menghaluskan bumbu dan ya begitulah meniru persis apa yang tercantum di buku resep.

Cuma, pas lagi masak, saya merasa kayanya ada yang kurang. Tapi enggak tau apa. Segera saya positive thinking, bahwa ini cuma karena saya nervous.

"Tenang, Prith. Akan ada yang pertama untuk semua hal. All you have to do is be happy." Saya menyemangati diri sendiri.

Langkah terakhir, memasukkan santan dan mengaduknya perlahan.

Dan di situ saya baru menyadari sesuatu ...

Astaghfirullahaladzim, laa ilaaha ilallaah. Kuatkan aku ya Allah.

... di panci enggak ada ayamnya!

Rupanya ini penyebab saya merasa ada yang kurang sepanjang proses memasak sejak tadi.

Lah kemana si ayam?di kresek belanja gak ada. Di kulkas juga gak ada.

Badan saya lemas pas sadar, kayanya tuh ayam masih di tukang sayur. Iya, diingat-ingat lagi, tadi tuh ada banyak orang yang beli ayam dan minta sekalian dipotongin. Trus saya, saking bersemangat, setelah ngantongin bumbu dan lainnya, langsung aja pulang.

Ayamnya ketinggalan! 😭

Jadi itu opor apa? Telur sama tahu.

Azan Maghrib berkumandang. Jadi saksi saya yang duduk di pojokan dapur nan berantakan, dalam kondisi cape, sambil enggak tau mau ngapain.

Ayam oh ayam ...
#gagalmasak Opor ayam ini sih 😑

Ngenes banget pas suami pulang, belum sempat saya cerita, dia liat masakan saya dan nanya, "Opor?"

Saya ngangguk sambil bete.

"Aku baru tau kalau Opor bisa dibikin pakai tahu dan telur." Dengan polos dia komen.

Oh ya ampunn ... 🫠

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu