Senang sekali hari ini saya belajar tentang satu istilah baru dari artikel yang ditulis calon ibu negara--Fery Farhati, yaitu #kinkeeping. Pertama kali diperkenalkan oleh Carolyn Rosenthal, seorang profesor di bidang Sosiologi pada 1985, Kinkeeping dapat diartikan sebagai tindakan menjaga dan memperkuat ikatan keluarga. Merupakan bentuk kerja emosional yang dilakukan baik terkait kewajiban atau keterikatan emosi.
Ibu Fery mencontohkan salah satu bentuk 'Kinkeeping' pada setting rencana piknik keluarga. Dimana seorang ibu merupakan orang yang biasanya paling sibuk, mulai dari menghitung budget yang tersedia, memikirkan tujuan, logistik, pakaian dan segala printilan lainnya. Tujuannya satu, agar seluruh keluarga bisa menikmati liburan sampai pulang dengan bahagia tanpa ada kekurangan yang berarti.
Gimana, relate Buibu?
Sampai sini, pantas lah jika sebagian ibu mengaku bahwa berlibur bagi mereka hanya 'judul' semata. Pada kenyataannya, kegiatan ini cuma memindahkan kesibukan dari dalam ke luar rumah. Mereka tetap sibuk mempersiapkan dan memperhitungkan segala macam, di perjalanan mengasuh anak-anak, lalu pulangnya nanti membereskan beragam benda kembali ke tempatnya masing-masing.
Lalu di mana sisi liburannya?
Meski tentu saja ini tampaknya lebih baik daripada hanya di rumah saja dalam waktu yang lama. Melihat pemandangan, bertemu dengan orang-orang baru, mengetahui budaya yang berbeda di suatu tempat, atau sekadar melihat bangunan serta makanan yang berbeda dari pemandangan sehari-hari. Meski tetap sambil momong, setidaknya bisa menambah wawasan dan berpotensi menghadirkan inspirasi.
Ibu ...
Mungkin sosok ini memang diciptakan untuk jadi makhluk paling sibuk di muka bumi. Dia adalah jantung keluarga. Pada umumnya ibu adalah orang yang bangun paling awal dan tidur paling akhir. Di pagi hari, ia memastikan ada sarapan yang cukup dan bergizi untuk keluarganya, menyiapkan bekal makan siang untuk dibawa ke sekolah anak-anak dan kantor suaminya. Jika ia juga bekerja, plus kantornya sendiri tentu saja!
Mengantar dan atau menjemput anak-anak sekolah, berbelanja, memasak makan siang, membereskan rumah, mencuci, menyapu dan lainnya pekerjaan domestik yang seolah tak ada habisnya. Itu jika kita berbicara tentang ibu rumahtangga tanpa asisten. Bagaimana dengan ibu bekerja? Ya tambahkan saja dengan pekerjaan kantor, jika di rumah juga tak ada support system (asisten atau keluarga yang membantu).
Cuma itu? Tentu saja tidak. Kita belum berbicara tentang 'Kinkeeping' yang dicetuskan oleh Profesor Rosenthal. Ingat, beliau bilang ini bentuk kerja emosional, artinya tak kasat mata. Contoh 'sederhananya' sebelum berbelanja ke pasar, seorang ibu akan sibuk berpikir dengan jumlah uang yang dimiliki, kira-kira apa saja yang seharusnya diutamakan untuk dibeli? Apakah itu sudah sesuai pedoman gizi keluarga? Karbohidrat, Protein, Lemak, Vitamin, Mineralnya, sudah cukup kah membentuk gizi seimbang? Jangan sampai anak-anak stunting karena kurang gizi. Lalu diingat-ingat lagi, adakah anggota keluarga yang alergi terhadap bahan makanan tertentu? Setelah itu ibu akan sibuk memikirkan, harus diolah apa bahan makanan yang sudah dibeli? Ah bosan sekali kalau itu lagi itu lagi. Mencari ide, ibu lalu berselancar di dunia maya.
Waktunya eksekusi, berbelanja dan memasak. Sampai sini, apakah kerja emosional seorang ibu selesai? Belum! Boleh jadi jika saat berbelanja ia melihat sesuatu yang berhubungan dengan keluarganya, pikirannya langsung melayang ke rumah. Misalnya jika dilihatnya seorang anak berseragam ada di pasar saat jam sekolah, ia akan berpikir, apakah anak itu membolos? Atau putus sekolah? Apa kabar anakku di sekolah? Perlukah menanyakannya pada guru lewat WhatsApp group?
Saat memasak, seorang ibu bisa berkali-kali melihat jam. Mencocokkan waktu penjemputan anak dari sekolah. Harus on time, khawatir terlalu lama, kasihan sang anak menunggu. Tak jarang saat sudah nyaris meninggalkan rumah, jika mendung tampak menggelayut, ia berpikir untuk memasukkan dulu jemurannya sebelum pergi ke sekolah.
Mengobrol, bermain dan membantu anak mengerjakan pekerjaan rumah serta belajar untuk ulangan atau setor hafalan, adalah tugas lain seorang ibu yang membuatnya sulit memejamkan mata untuk istirahat siang. Tapi biasanya seorang ibu akan lebih tahan mengurusi hal tersebut sejak siang atau sore, ketimbang di malam hari setelah bersiap tidur, tiba-tiba sang anak berbisik, "Ma, besok prakarya harus bawa miniatur Candi Borobudur."
Sampai sini terbayang lelahnya? Bukan sekadar lelah fisik karena bolak-balik antar jemput, menjemur dan melipat pakaian, menyapu dan mengepel, membantu mengerjakan pe-er dan lainnya yang bisa dilihat proses pengerjaannya. Tapi ada yang jauh lebih melelahkan yaitu kerja emosionalnya.
Jika kondisi finansial mencukupi, mungkin tak terlalu pusing. Tapi kalau di sisi ini pun kekurangan, tentu akan lebih membebani jiwanya. Tanpa perlu diminta, seorang ibu akan memiliki naluri juang untuk bisa membantu perekonomian keluarga, baik dengan strategi penghematan atau menambah penghasilan. Ibu yang pandai di dapur, akan mencoba usaha catering atau baking. Ibu yang jago urusan benang, akan jual jasa menjahit atau merajut. Tak pandai urusan keterampilan rumahtangga tapi bisa merangkai kata? Profesi penulis atau blogger bisa dicoba. Atau jika fasih berbahasa asing dan telaten mengkoordinir sesuatu, bisa mencoba profesi yang lagi ngetrend sekarang, Virtual Assistant.
Pada umumnya seorang ibu yang memang secara fitrah dikaruniai kemampuan multitasking dan multi-thinking ini, akan baik-baik saja, selama seluruh karyanya diapresiasi. Segala lelah fisik dan mental itu luruh seketika saat anak-anak antusias menghabiskan makanan yang dimasak dengan penuh cinta atau bercerita tentang pekerjaan rumahnya yang mendapat nilai baik karena dibantu oleh sang ibu.
Untuk yang juga berkarya di ranah publik, kondisi fisik dan mental yang 'acak-acakan' ini biasanya akan membaik seiring hasil kerja yang diapresiasi, baik melalui gaji/komisi yang layak atau dengan pujian dari atasan atau customer.
Yang jadi masalah adalah, jika ada kalimat menyakitkan yang harus mampir ke telinganya, "Ngapain aja sih seharian? Kok rumah berantakan?" Atau, "Anaknya kok kurus begitu? Kurang gizi, ya?"
Tau nggak, ibarat awan yang sudah keberatan menyimpan uap air, maka ia akan menumpahkan hujan derasnya segera. Seorang ibu yang tampak baik-baik saja dengan lelah yang awalnya sedang berusaha diikhlaskan, akan berubah emosional entah dengan marah, menangis, atau diam seribu bahasa.
Akibatnya fatal. Mengingat bahwa ibu merupakan jantung keluarga, maka bayangkan saja jika ia terluka. Seluruh sendi akan ikut merasakan nyeri. Ada ketidakseimbangan yang tercipta. Seisi rumah tak akan lagi sama kondisinya seperti sebelumnya, saat sang ibu bahagia.
Di sini peran penting seorang suami atau ayah untuk meningkatkan sensitivitas. Peluk isterinya, Pak. Berterimakasih lah atas semua kerja kerasnya. Sesekali bawakan buah tangan dari kantor. Dengarkan keluhnya agar itu tak muncul di media sosial dan membuat rahasia dapur terbongkar. Jika mampu, baiknya berikan asisten untuk membantunya, karena sejatinya seluruh pekerjaan domestik bukanlah kewajibannya. Ikutlah berpartisipasi dalam pendidikan dan pengasuhan anak. Ini bukan hanya untuk kepentingan anak. Karena dengan menggali dan menumbuhkan fitrah anak, maka fitrah pribadi orangtua pun otomatis akan terbangun hingga melingkar mekar memenuhi tujuan penciptaan Ilahi.
Dari sini ketahanan keluarga dimulai. Apabila seluruh keluarga mengamalkannya, maka akan tercipta ketahanan lingkungan hingga terbangun lah suatu peradaban yang tangguh, insya Allah.
Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷
Comments
Post a Comment