Skip to main content

Tips untuk Ibu yang Merasa Gagal


Kemarin saya mengobrol dengan teman baik, seorang ibu yang sudah cukup senior. Namanya ibu-ibu ya, obrolan gak jauh dari urusan keluarga. Bedanya, ngobrol sama ibu satu ini biasanya ada banyak ilmu dan pengalaman.

Saat beliau cerita kalau anaknya sekarang alhamdulillah sudah lebih dekat ke masjid, lebih sering baca atau nonton kajian dan mendiskusikan hal tersebut dengan beliau sebagai ibunya. 

"Alhamdulillah, Mba Pritha. Ternyata betul bahwa setiap anak punya waktunya masing-masing. Kita orangtua cuma bisa ikhtiar dan mendoakan. Anakku yang sulung ini, dulu pas sekolah santuy bener. Agamanya tuh ya Allah. Padahal aku ya ngajarin. Tapi kok nggak kena? Istighfar, cari tau salahku di mana? Liat anak-anak lain dengan macam-macam prestasinya, aku sempat merasa jadi ibu yang gagal."

Saya sempat kaget. Gagal? Padahal di mata saya dia tuh kayanya hebat gitu. Anaknya sarjana lulusan PTN ternama yang waktu itu sempat tes di sebuah lembaga negara. Lalu menjajaki bisnis pula. 

Sementara ibunya, bisnisnya kuat dengan latar belakang pesantren yang gak usah ditanya lah pemahamannya akan syariat, udah pasti jauh di atas saya.

Yang kaya gini merasa gagal? Kalo gitu, yang kaya saya apa namanya?

Beliau lalu melanjutkan, "Akhirnya daripada aku stres, apalagi kalau lihat perbandingan dengan teman sebaya atau anak-anak temanku yang sebaya dia dengan pencapaian luar biasa, aku tutup mata aja. Bukan iri. Tapi yakin kalau Allah akan tunjukkan jalannya, selama kita nggak berhenti melangkah melakukan yang terbaik untuk anak."

"Terbaik tuh kaya apa, Bu?"

"Ini aku ya, belum tentu cocok untuk semua anak. Aku akhirnya pakai prinsip tarik-ulur. Adakalanya anak-anak kulepas supaya tau dunia luar kaya apa. Supaya tau rasanya bikin kesalahan. Tau rasanya jatuh dan luka. Tau rasanya kecewa, sakit hati, benci, kalah. Di situ nggak langsung kutolong. Aku perhatikan saja dulu. Liat sejauh mana dia mampu bangkit. Tapi di sisi lain, aku sekuat tenaga perkuat imannya. Buatku nggak papa lah dia melakukan kenakalan anak atau remaja sepanjang nggak fatal ya. Biar dia tau rasanya. Daripada nanti pas udah tua baru nakal. Aku sambil berdoa nggak putus, minta Allah tunjukkan jalan. Minta dijaga, kan kita nggak selalu bisa jaga anak-anak ya."

Saya manggut-manggut aja dengar beliau cerita. Catet, Prith, catet ... 

"Terkadang kita perlu menurunkan standar terhadap anak-anak. Kalau lihat temannya sudah hafal sekian juz, nggak perlu juga kita bandingkan. Kitanya pusing, anak lebih pusing. Nggak smua anak bakatnya dalam menghafal Qur'an ya kan? Yang bisa ya Alhamdulillah. Sama terhadap suami juga seperti itu. Aku tuh dulu suka agak iri, kok suamiku gak kaya orang lain yang rutin tilawah, kajian. Ya 'spek' para Ustadz gitu lah. Lalu aku belajar tentang ilmu menurunkan standar. Coba cek kelebihan suami. Oh ya Alhamdulillah suamiku bertanggungjawab menafkahi, suamiku nggak KaDeeRTe, nggak membatasi aktivitasku selama itu baik. Anakku nggak narkoba, nggak apa lah itu por-no-gra-fi dan kenakalan anak serta remaja lainnya yang parah lah."

"Tapi Ibu nanyain nggak?"

"Ya ada lah pernah kutanya, tapi selebihnya kusebut dalam doa. Pas tahajjud, pas tilawah, pas safar. Ambil waktu mustajab. Doa seorang ibu, seorang isteri itu insya Allah terkabul. Tapi soal kapannya, cuma Allah yang tau. Dan itu nggak akan terlambat. Pasti tepat waktu."

Masya Allah tabarakallah ...

Suara seorang ibu senior dengan bukti kesuksesan anaknya dunia akhirat (aamiin), sungguh terasa lebih powerfull bagi saya ketimbang sekadar baca teori. Well bukan berarti saya menyepelekan teori. Ya masa, kan saya tau untuk bisa tegak satu teori pun butuh penelitian yang gak mudah. Tapi vibes pengalaman langsung itu memang beda. Lebih real!

Bismillah

1. Tarik ulur

2. Doakan

3. Yakin sama Allah

4. Setiap orang ada waktunya

5. Turunkan standar, jangan gampang iri


Yuk bisa yuk, Buibu! Semangat ya ... 


Salam hangat,

Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu