Pernah nggak sih kalian, terutama para ibu rumahtangga, merasa kalau pekerjaan domestik tuh nggak ada ujungnya? Selesai masak sarapan, cuci perabot, lanjut nganter sekolah. Pulang ke rumah udah tersedia tumpukan baju kotor. Cuci, jemur lalu belanja. Masak makan siang, beberes rumah, ambil jemuran, lipat. Eh udah jam pulang sekolah. Seterusnya sampai malam tiba, untuk menyambut hal yang sama esok harinya.
Sebetulnya nggak cuma ibu rumahtangga sih, karena profesi lain juga sama aja. Mungkin yang membedakan karena ibu rumahtangga ini nggak kemana-mana, hasilnya nggak 'bertahan lama' dan umumnya nggak mengenal gaji (padahal mestinya ya dapet, tapi gak usah dibahas di sini, kepanjangan). Jadi bagi sebagian orang terasa lebih lelah dan membosankan.
Lalu lelah datang, lack of grateful and happiness. Membandingkan diri dengan orang lain yang kayanya lebih beruntung, trus ngambek. Udah kaya lingkaran se-tan.
Been there done that. Saya mengalami itu pas memutuskan gak pake ART lagi setelah beragam drama yang ada. Pas pandemi pula, lelahnya minta ampun, jiwa raga.
Sampai saya belajar tentang #batascukup
Ketahui batas kemampuan dan kerjakan segitu saja. Jangan kemakan motivasi #breakyourlimit mentah-mentah. Bukan salah, tapi itu nanti, levelnya udah tinggi. Apalagi slogan, "Kalo orang lain bisa, kenapa aku nggak?"
Hey, kalo CR7 bisa jadi juara dunia, lantas mau maksain juga latihan bola ngikutin dia?
Misal batas cukupnya masak sehari sekali, ya udah sekali aja. Kalau ternyata berantakan, anak-anak gak suka makanan catering atau nggak ada budget untuk delivery, ya ditata ulang, mana pekerjaan yang sekiranya bisa didelegasikan ke orang lain tanpa mengganggu stabilitas keluarga (suami, laundry, jasa antar-jemput dll) supaya bisa masak lebih dari sekali sehari.
Jangan gampang insecure sama pencapaian orang lain. Misal kita liat ibu rumahtangga yang masih bisa bebikinan kue atau aktif berkomunitas. Kita pengen gak? Ada perlunya gak? Kalo gak, ya udah gak usah. Kecuali kalau merasa perlu, suami gak keberatan, coba cari solusinya supaya bisa juga. Kembali, atur waktunya.
Kondisi setiap orang berbeda. Kemampuannya, kelebihan dan kekurangannya, tugas dalam kehidupan serta ladang pahala yang disiapkan Allah untuknya. Mau dibikin jadi apa hidup kita kalau ngikutin orang lain melulu?
Termasuk teori pengasuhan. Gak perlu saran seorang tokoh parenting diikutin bulat-bulat semuanya. Karena setiap orangtua adalah pakar parenting terbaik untuk anak-anaknya. Allah langsung yang mendesain dan menginstallnya dalam jiwa kita. Dan gak perlu beran-tem juga sama orang cuma karena beda pola asuh. Santai aja kalo gak mau cepet ubanan, Bestie!
Coba deh pelan-pelan praktekin hal ini. Kalau perkara dasar macam pekerjaan rumah bisa menenangkan diri setelah ditentukan batas cukupnya dan ditata ulang, bisa praktekkan ke hal lainnya semisal kebiasaan scrolling medsos atau ngerjain hobi (baca, nonton dll).
Kemarin saya mencoba menerapkan ini saat seminar #haji dan #umroh
Jadi baru di tempat tuh dikasih tau kalau dalam acara tersebut akan ada banyak doorprize, di antaranya beberapa tiket umroh gratis dan sepeda motor.
Wow masya Allah!
Pengumumannya nggak sekaligus, biar orang ikuti smua materi sampai selesai, dong.
Saya nggak bisa begitu. Di rumah ada dua anak yang udah pulang sekolah sejak siang dan sore. Mereka butuh makan malem, ditemenin belajar, dicek ada pe er atau gak dan lainnya. Perjalanan kalau nggak macet paling gak 2,5 jam (kemarin 3 jam lebih). Jadi paling telat, ashar saya udah harus pulang.
Pulang nggak ya? Tapi kalo diumumkan trus dapet doorprize gimana? Kan sayang ...
Hingga akhirnya pemenang pertama tiket umroh diumumkan. Seorang ibu bercadar, suaranya serak saat mic disodorkan padanya. Rupanya ibu itu sudah mendaftar umroh sendirian. Beliau galau, karena sesungguhnya ingin pergi bersama mahrom. Namun apa daya kondisi dompet belum memungkinkan.
Beliau cerita, "Tadi pagi sebelum berangkat kesini, saya berdoa, Ya Allah tolong dong saya ragu berangkat sendiri. Tapi pengen banget. Tolong kasih petunjuk."
Dan Allah kasih jawabannya, tunai!
Di situ seketika saya ingat perkara #batascukup
Saya udah pernah umroh, bahkan bertiga suami dan anak. Saya juga udah punya sepeda motor yang masih cukup layak pakai.
Lalu saya melihat ke sekeliling ballroom. Ada ratusan orang di situ, pastinya ada yang belum pernah umroh sama sekali. Atau nggak punya sepeda motor, padahal perlu.
Akhirnya saya memutuskan pulang.
Ya emang kalaupun tetap di sana, belum tentu juga saya yang dapet. Tapi ini bukan tentang itu. Ini tentang melatih diri mengetahui batas cukup. Karena boleh jadi juga saya yang dapet dan akan ada orang yang sedih karena sangat berharap.
Jangan bilang, "Kalau emang sudah ditakdirkan rezeki kamu, ya jangan ditolak."
Lagi-lagi ini bukan tentang itu.
Saat kita sudah bisa menetapkan batas cukup atas segala yang diupayakan dalam hidup ini, maka insya Allah hati lebih tenang.
Gimana tau itu udah cukup? Nggak kurang atau lebih? Coba tanya hati nurani. Coba pelajari Al Qur'an. Karena jawaban atas pertanyaan ini nggak akan ada di mulut atau buku motivator manapun.
Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷
Comments
Post a Comment