Skip to main content

Dari Balik Pintu


 Ramadhan tahun ini, nggak pernah nyangka, kebagian ujian sakit cukup parah, lama pula. Alhamdulilllah 'alaa kulli haal, segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan.

Mau sakit atau sehat, sejatinya itu takdir terbaik. Mungkin ini cara Allah negur, "Hey Prith, pola makanmu kurang bagus. Pola tidurmu berantakan. Zhalim amat sama badan!"

Si ibu pecicilan ini pun menyerah. Ponsel ditanggalkan. Tidur-makan-tidur-makan. Segalanya cuma bisa diliat dan didengar dari balik pintu atau jendela. 

Anak-anak datang silih berganti untuk pamit sekolah. Kadang rasanya baru sebentar, eh udah balik lagi. Padahal bukan sebentar, tapi efek obat, jam tidur yang kebolak-balik.



"Bu, demamnya belum genap empat hari. Besok kalau masih demam, kesini lagi ya, cek darah." Begitu dokter bilang.

Besoknya alhamdulillah enggak demam. Sembuh, nih? Eh ternyata belum. Lusanya suhu tubuh naik drastis. Ke dokter lagi? Enggak. Gak bisa jalan. Sendi kaya dipretelin satu-satu. Nyeri.

"Bun, langsung ke IGD aja." Suami ngajak.

"Kalau opname, anak-anak gimana?"

"Nanti kakak aku dateng. Entah mereka nginap di sini atau anak-anak dibawa."

Saya menggeleng. Kayanya denger suara anak-anak di rumah, meski ada aja perang dunia yg timbul, bisa mempercepat pemulihan.

Mohon maaf jika pendapat ini sesat, teman-teman dokter. Ini cuma pemikiran ibu-ibu yang jarang banget pisah sama anak-anaknya. 

Feeling yang ada benernya juga sih. Denger mereka gantian cerita tentang sekolah, setor hafalan atau sekadar debat rebutan apa lah, itu kaya booster. Nggak bisa aktif menanggapi, tapi segala yang terdengar itu bikin semangat sembuh menyala, Abangku!

Kerabat datang satu-satu. Termasuk yg udah lama gak ketemu. Hikmah sakit ya, masya Allah. Yang jauh pun datang dg tanda cinta via delivery. Makasih banyak kalian!

Sampai akhirnya bisa bangun nyiapin sahur lagi, seluruh keluarga riang gembira meski khawatir karena oleng.

"Alhamdulillah masakan Bunda enak, gak kaya emmh... masakan Ayah," celetuk si nomor dua.

Selama ini kirain capek itu krn sibuk, tapi ternyata bed rest lebih capek. Neriakin dan ngejar tukang dagang yg ngebut, lebih menyenangkan ketimbang cuma denger suara mereka dari kamar.

Sehat itu privilege🌷

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu