Skip to main content

Anak Sering Kehilangan Barang Karena Dipinjam Teman, Kenapa Ya?

Pertanyaan yang seringkali nggak menemukan jawab untuk para orangtua. Beli pensil selusin, seminggu habis. Begitu juga dengan penghapus, pulpen, bahkan gantungan kunci yang mestinya bertahan lama karena bukan barang yang dipakai!

Ayah-Bunda, coba sedikit flashback. Diingat, apakah di usia sebelum 7 tahun, terutama balita, anak sering kita minta untuk berbagi? Semisal jika ia sedang asyik bermain boneka miliknya lalu ada temannya datang, kita bilang, "Ayo pinjamkan, masa pelit sama teman."

Atau jika anak lebih dulu duduk di tempat ternyaman untuknya di mobil, lalu adiknya datang dan menangis karena ingin duduk di tempat yang sama, secara spontan biasanya kita bilang, "Masa Kakak gak mau ngalah sama Adik?"

Hati-hati, ucapan seperti itu, meski dengan nada lembut, akan terngiang di benak anak.

❗️Kalau gak mau berbagi sama teman, artinya pelit 

❗️Sebagai Kakak harus selalu ngalah sama Adik

Konsep diri seperti itu, jika ditanamkan sebelum usia 7th, berpotensi membonsai individualitas anak. Padahal #individualitas ini diperlukan untuk mengokohkan keakuan, kepercayaan diri keyakinan akan hak milik atau sesuatu yang didapat melalui usaha.

Ini yang kelak akan membuat anak memiliki keyakinan diri yang kuat, kemampuan mempertahankan pendapat, siap untuk berbeda dengan lingkungan jika ia merasa benar dan kuatnya harga diri.

Dan kemampuan ini dibentuk saat anak usia 0-7 tahun!

Setelah itu, jika konsep diri sudah ajeg, maka ia siap untuk belajar #Sosiabilitas di mana salah satunya adalah berbagi dengan orang lain.

Enggak sampai di sini (meminjamkan alat tulis tapi nggak berani meminta kembali) lebih lanjut di usia dewasa awal, anak yang tak terbangun 'aku'-nya, akan relatif lebih mudah memberikan hal yang sensitif, mengizinkan tubuhnya disentuh oleh non mahrom hingga terjerumus dalam z1na. 

Alasannya sederhana: Kan nggak boleh pelit. Kan harus ngalah. Kan nggak diajarkan untuk mempertahankan milik pribadi.

Dia juga akan jadi orang yang gak tega jika tak meminjamkan uang pada orang lain. Dan sudah bisa ditebak, gak berani nagih.

Tapi anakku udah telanjur diajarkan berbagi di bawah usia 7 tahun. Sekarang sudah 10 tahun atau bahkan belasan, gimana ya?

1️⃣ Pertama, tenangkan diri dulu, yang jelas Ayah/Bunda pasti sudah berupaya semaksimal mungkin dalam mendidik anak. 

2️⃣ Kedua, istighfar, minta ampun sama Allah karena ada kekeliruan dalam proses mendidik dan mengasuh. Idealnya juga meminta maaf pada anak. Ajak anak ngobrol topik ini. Gali mengenai kepercayaan dirinya, konsep diri dan kesulitan yang pernah dialami terkait hal ini. Ada anak yang nggak mau cerita kalau dia sering dimanfaatkan oleh temannya.

3️⃣ Ketiga, jangan segan untuk 'putar balik'. Ajarkan anak sesuatu yang terlewat diajarkan di fase usia sebelumnya. Better late than never.

Allah adalah Sang Pencipta yang Maha membolak-balikkan hati. Minta pada-Nya untuk memudahkan urusan pendidikan dan pengajaran yang terlambat ini. Yakinlah kalau dengan campur tangan Allah, gak ada yang mustahil.

Mempersiapkan anak menyambut #AqilBaligh memang tak mudah. Tapi jika kita mampu melakukannya dengan baik, insya Allah akan menghasilkan pemuda tangguh di masa yang akan datang. Tak ada #remaja galau yang sibuk mencari jati diri. Proses itu sudah ia lalui di masa kanak-kanaknya.

Jika butuh panduan dalam membersamai anak-anak jelang usia #Pubertas, bisa ikut P0 buku #PendidikanAqilBaligh yang ditulis oleh Ustadz Adriano Rusfi Psikolog. Beliau cukup lama mengkaji topik ini. Bahkan beliau juga yang menyusun konsep #Remagogi, sebuah kurikulum darurat untuk menarik kembali anak yang telanjur kecemplung jadi #remaja galau dengan sistem mentorship (ada juga kelasnya, 8 sesi, tapi udah mulai 2 sesi Senin dan Kamis lalu).

Info kelas dan buku ☎️ wa.me/628179279177


Salam hangat,

Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu