Skip to main content

Gadget, Sahabat atau Musuh bagi Fitrah untuk Bertumbuh

 

Bisa membersamai guru itu rezeki tak terkira.

Tahun lalu, saya mengenal Bunda Roro. Eh, bukan, kenal mah udah lama, beberapa kali nonton videonya bersama sang suami, Ustadz Harry Santosa allahuyarham. Tahun lalu itu saat akhirnya saya memutuskan ikut kuliah #fitrahbasededucation dan #fitrahbasedlife selama 3 bulan (akhirnya sih extend karena berbarengan dengan Ramadhan)

Kuliah yang mensyaratkan kehadiran 90% kalau mau dapat sertifikat, maka saya pun jadi rajin.

Ya bukan karena sertifikat amat sih, sayang aja gak sih udah bayar, belajar, tapi disia-siakan dengan nggak serius? Saya pengen bisa menyerap ilmunya, biar bisa dipraktekin ke diri sendiri, keluarga dan masyarakat.

Faktanya, belajar #fitrah memang sulit menemukan kata akhir. 

To know God (Ma'rifatullah)

To do Good (Good life)

And to Accept the True Knowledge (Ilmu - Kitabullah)

Ilmu yang harus terus dipelajari dan diperbaharui sampai akhir hayat.

Sore tadi saya berkesempatan membersamai Bunda Roro sebagai Host di salah satu seri #SeruanFitrah bertopik : Gadget, Sahabat atau Musuh bagi Fitrah untuk Bertumbuh?

Panjang lebar Bunda Roro memaparkan tentang hal ini. Dimulai dari cuplikan video Ustadz Harry Santosa allahuyarham tentang kebahagiaan hakiki yang berlandaskan Fitrah.

Penjelasan pun bergulir pada fakta dan realita penggunaan gadget yang sangat masif pada generasi muda, anak-anak kita. Mereka yang sedari kecil 'diasuh' oleh smartphone, hingga sulit berpisah, karena menganggap inilah bestie-nya.

Topik ini bukan semata membahas tentang boleh atau tidaknya #gadget untuk anak-anak. Bukan pula sekadar tips mengatur waktu berinteraksi dengan gadget. Tapi mengembalikan ke intinya, untuk apa gadget? Adakah perannya dalam menumbuhkan fitrah? Sudah melingkar mekar kah fitrah anak-anak saat akhirnya kita mempercayainya menggunakan bahkan memilikinya? Jika belum, fitrah apa yang tercederai?

Lihatlah mereka yang memiliki tubuh lemah akibat mager, karena lebih asyik bermain gadget. Perlahan fitrah jasmaninya tergerus.

Lain lagi mereka yang karena candu dengan gadget, seruan azan pun diabaikan. Fitrah keimanannya koyak.

Tentu saja ini tak hanya untuk anak-anak, karena coba tanya pada diri, apakah kita sungguh-sungguh tak jadi bagian dari mereka--generasi dengan fitrah rusak karena gadget? Seberapa sering kita memandang wajah ananda, bersenda gurau, deep talk dan beraktivitas dengan mereka tanpa gadget di antaranya?

Akan sulit memisahkan mereka dari gadget, atau menjadikan gadget sebagai sarana menyempurnakan fitrah, jika kita sebagai orangtua pun acapkali lalai karenanya.


Salam hangat,

Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan dan Solusi Membatasinya

Source pic dari sini Belakangan rasanya pilek begitu mudah menyerang. Atau sekalinya kena, eh kok bertahan lama? Cek antigen, alhamdulillah negatif. Source pic dari sini Gatal-gatal, biang keringat, bisul sampai bintitan, tumben-tumbenan menghinggapi anak-anak. Padahal sebelumnya nggak pernah. Mandi, seperti biasa dua kali sehari. Pakai sabun anti bakteri pula. Cuaca panas ekstrim memicu migrain. Dingin ekxtrim, eh jadi kaligata / biduren. Biasanya nggak begini. Badan mendadak ringkih. Relate dengan beberapa penyakit di atas? Saya dan keluarga mengalaminya. Belakangan rasanya badan jadi ringkih. Di antara kami ada yang jadi gampang batuk/pilek, kulitnya mendadak sensitif, acapkali terkena migrain dan penyakit lainnya. Ada apa sih? Apa pengaruh kurang kena udara segar, akibat terlalu lama di rumah aja sepanjang pandemi? NO! Ternyata bukan itu jawabannya. Nggak bisa dipungkiri bahwa 'diperam' di rumah dalam waktu lama memicu stress. Di mana stress ini bisa mengakibatkan imu

Puluhan Hari Penuh Kenangan di SEMAI (Sedekah Makanan Indonesia)

Seburuk apapun situasi dan kondisi yang menghampiri, yakinlah akan ada hikmah tersembunyi di baliknya, hanya Allah yang tahu, sampai Dia mengizinkan kita untuk ikut mengetahuinya . Kapankah itu? Saat hati kita terbuka dan menyediakan ruang, untuk sang hikmah bertahta. Kisah ini dimulai pada Maret 2020, saat pandemi diketahui baru mendarat di negeri tercinta. Saya waktu itu sedang dipusingkan dengan mengajar anak-anak yang mendadak menjalani sekolah online. Subhanallah, jadi guru dadakan buat anak-anak sepanjang hari bukanlah hal yang mudah. Padahal saya terbiasa membantu mereka membuat pe-er atau menyimak murojaah. Tapi itu berjeda, nggak macam sekolah online, seharian!  Bukan cuma dibikin pening dengan mengajar anak-anak, di sisi lain saya juga harus beradaptasi dengan rumah tanpa ART, yang mendadak resign beberapa pekan sebelumnya. Menjalani beragam aktivitas diiringi paranoid karena pasien covid kedua di Indonesia saat itu, tinggal hanya berjarak 300 meter dari rumah kami. Tepatnya

Remagogi

Setelah ikut segala kuliah mulai dari Psy Perkembangan dan Pendidikan Islami (dg Brothering sbg salah satu materinya), Seminar dan Coaching #InspirePsychology sampai #Remagogi ... Saya melihat ke samping, anak sulung saya di jelang usia balighnya. Sudah Aqil? Belum rasanya, tapi insya Allah tak terlalu jauh. Kadang dia childish, tapi adakalanya pemikirannya out of the box masya Allah. Pilihan sikap yang diambil saat menghadapi masalah tanpa kehadiran saya di sampingnya, beberapa kali bikin saya salut. Sesuatu yang bahkan nggak terpikir oleh saya sebagai ibunya. Salah satunya adalah ketika dia dan temannya nyasar saat lagi sepedahan. Siang bolong, gak bawa uang, haus banget. Temennya berulangkali istirahat dan bilang capek tapi gak tau harus gimana. Si sulung datang ke satu warung, mencoba minta minum. Nggak dikasih, karena tampang dan bajunya nggak macam seseorang yang perlu dikasih sedekah kata pemilik warung. Sejenak dia diam. Lalu memutuskan ke masjid. "Ngapain lu?