Skip to main content

Anak Lebay berasal dari Ortu yang Abai


Anak Lebay berasal dari Ortu yang Abai

Anak saya cerita, di sekolahnya ada siswa yang suka bohong. Jadi dia ngadu ke guru udah diperlakukan gak baik sama temennya secara berlebihan. 

Misal ada temennya yang bete sama dia dan bilang, "Rese lu!"
Dia akan bilang ke gurunya kalau dia abis dikatain kasar sama temennya.

Atau lain waktu ada yang dorong dia ke tembok karena kesal, anak itu akan ngadu kalau dia dice-kek.

Beberapa temen udah kesel karena aduan dia, karena pada auto ditegur guru kan. Sampai suatu waktu yg berkasus adalah temen si sulung yang anaknya lucu-lucu ngeselin. Gimana ya gambarinnya. Laki-laki 14-15th, mukanya tuh lucu, bulet. Ekspresif. Tapi kalo bete kaya orang ngajak berantem katanya. Pdhl anaknya ya biasa aja. Teman sekelas udah paham.

Si anak 'lebay' ini ngadu lah sama guru, dibeginiin bla bla bla. Intinya udah kaya percobaan pembu-nuhan. Apesnya dia, saksinya banyak. Mereka bilang kalau si anak itu 'cuma' disikut. Entah gimana awalnya. Teman sekelasnya bahkan bersaksi memberatkan dia.

Akhirnya guru nyuruh rekonstruksi sama mereka berdua, sambil nanya saksi, mana yang bener?

Si tukang ngadu ketauan boong.

Kerumunan pun dibubarkan, anak tersebut dinasehati sama gurunya, gak di depan teman-temannya.

Saya jadi ingat kejadian beberapa tahun lalu, saat anak saya masih TK. Suatu hari saya dipanggil ke sekolah. Katanya salah seorang wali murid ngadu, kalau anaknya dipu-kulin sama anak saya sampai luka. Lalu bajunya digunting sampai koyak di beberapa bagian.

Astaghfirullah, shock ga sih? Anak saya bisa melakukan itu di usia TK??

Belum juga saya selesai wa dengan guru, wali murid tersebut juga wa ke saya mengatakan hal yang sama. Saya tanya, "Ada foto luka atau baju yang sobeknya?"

Dia kasih.

Tau gak sih, itu kemeja utuh. Gak ada tergunting atau sobek sama sekali.

"Belah mana ya sobek bekas guntingannya?"

"Bu Pritha liat itu yang di tengah dekat kancing?

"Ya udah Ibu bawa aja ke sekolah besok, dipanggil juga kan sama kepsek?"

Daripada ribut di wa, saya putuskan aja gitu. Lagian mungkin karena mata saya minus, sobek-sobeknya gak keliatan.

Saya datang lebih pagi dari ibu tersebut. Ngobrol dengan walas, menanyakan kronologisnya. Walas bilang, gak sama sekali pernah loat anak saya melakukan yang dituduhkan. Atau liat anak tersebut nangis kesakitan karena dinakali temannya.

"Anak itu pernah cukup lama gak masuk, karena sebelumnya dia nangis saat ada petir. Itu aja sekali saya liat dia nangis ketakutan," kata sang walas.

Ngobrol dengan bbrp teman sekelas anak, juga nanya-nanya, apakah pernah disakiti sama anak saya? Mereka kompak geleng-geleng. Ya satu dua ada yang ngadu, "Gza tuh suka nakal kalau main petak umpet, gak mau keluar padahal udah bel."

Oh baiklah, nggak signifikan ke arah keke-rasan.

Ibu itu datang, kami sama-sama menuju ruang kepsek. Karena sudah jam pulang, si sulung saya suruh tunggu di luar. Well saya masih bisa liat dia karena jendela kaca yang cukup lebar.

Mulailah si ibu bercerita panjang lebar tentang penderitaan anaknya yang disebabkan oleh anak saya. Lukanya, bajunya. Oya, bajunya dibawa. Tau nggak, yg dimaksud sobek-sobek tuh ternyata cuma bolong ukuran 1mm, kaya ca-cat produksi gitu lah.

Saya antara kesel, gemes dan pengen ketawa. Atuh lah ngarang tuh yang bagusan dikit!

Sampai akhirnya dia bilang, "Makanya anak saya gak sekolah dalam waktu sekian hari, itu karena trauma  dia gamau ketemu Gza. Ketakutan dia bahkan kalau denger namanya aja."

Saya belum jawab. Tiba-tiba di depan ruang kepsek, dua anak itu muncul bergandengan. Mereka lesehan di lantai. Gza membagi sisa roti bekalnya.

"Mau?" tanya si sulung.

Anak itu ngangguk. Mereka makan roti bareng dalam radius 1-1,5 meter dari tempat kami duduk.

Saya tanya, "yang kaya gitu Ibu bilang trauma?"

Tampak si ibu bete, tapi masih tetap menyerang dengan narasi-narasi yang entahlah. Saya sama kepala sekolah senyum aja.

Waktu berlalu, kisahnya mirip, ada orang yang berlebihan dalam memaknai sesuatu. Merasa paling terluka, paling dizhalimi, paling jadi korban bermodalkan kebohongan.

Saya menduga, orang-orang kaya gini sakit secara psikis. Penyebabnya apa? Entah, bisa macam-macam.  Salah satunya, seringnya diabaikan atau nggak divalidasi perasaannya.

Jadi manteman, yuk mulai ajari anak-anak kita cara mengelola emosi. Ada banyak tips nya di aku para pegiat parenting. Saya biasanya liat topik ini di IG/YouTube Bu Elly Risman.

Eh kenapa nangis?
Teman-teman ada yang merasa seperti itu? Yuk pelan-pelan ambil wudhu, gelar sajadah, bersujudlah. Ngadu sama Allah, nangis.

Semoga lekas terangkat bebannya, sehat mental seutuhnya.

Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷

Comments

Popular posts from this blog

Berhenti Menyalahkan Gen-Z, Lakukan Perbaikan

Viral video yang menyatakan para pengusaha ogah, bahkan trauma menerima #GenZ bekerja di perusahaannya. Alasannya, Gen-Z ini generasi yang attitude-nya negatif : 1. Lebay 2. Tidak Realistis baik dalam bekerja maupun menetapkan dan mencapai target 3. Tidak mau disalahkan 4. Merasa jadi semacam 'pusat dunia', kalau ada masalah orang lain yang salah/toxic  5. Mudah putus asa, daya juang rendah Really? Pertama-tama mari samakan persepsi. Berdasarkan data BPS, Gen-Z adalah generasi yang lahir sekitar 1997-2012. Sumber lain ada yg menyatakan lbh awal 1 tahun. Tapi ya udahlah anggap aja pertengahan era 90an sampai akhir 2010. Lahir di era pesatnya perkembangan teknologi digital, membuat mereka memiliki karakteristik unik, seperti keterampilan digital yang kuat, kreativitas, serta keinginan untuk berkolaborasi dan berkontribusi pada masyarakat. Keren kan? Tapi bagai dua sisi mata uang, kelebihan selalu disertai dengan kekurangan. Karena tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, yang ap...

Resesi

  Kemarin saya silaturahim ke kantor salah satu mitra developer Khadeeja Property di Depok. Berdua aja sama anak gadis, saya putuskan naik KRL dan ojek. Turun di Stasiun Pondok Cina. Rasanya baru kali ini deh saya turun di situ. Beberapa kali ke Depok, kalau nggak Stasiun Depok Baru, Depok Lama ya UI.  Orang yang terbiasa stay di sekitaran stasiun pasti jeli ngeliat kalo tatapan saya waspada bangetvliat kanan-kiri, khas orang baru. Kayanya seperti inilah tatapan seorang driver ojol yang mangkal di dekat stasiun. Saat saya jalan ke pangkalan ojol, karena seperti biasa nggak boleh naik tepat di stasiunnya, seorang driver berseragam hijau menghampiri. "Ummi, sudah dapat ojek?" Sopan ia bertanya. "Belum, baru mau pesan." "Sama saya aja ya, Ummi?" "Oh boleh, bisa langsung di-pick di aplikasi ya?" "Enggak Ummi, gak usah pake aplikasi. Coba klik di situ aja alamatnya, nanti ngikut situ ongkosnya." Alarm saya mulai bunyi, be careful, gak ada bu...

Ngobrol bareng Maba Psikologi Gunadarma

Berasa muda belia lagi gak sih ketemu para maba kinyis-kinyis begini? Hahaha, syukur keburu sadar, kalo saya mungkin banget seumuran mama-mama mereka. Ini smua dimulai dari wa Mba Prihatiningsih Mb 1-2 pekan yang lalu. Katanya puteri beliau sama teman-temannya dapet tugas kuliah, nyari narsum untuk diwawancarai. Syaratnya, lulusan Psikologi yang sekarang berkecimpung di bidang tersebut. "Mba Pritha, berkenan ya jadi narsum dan berbagi pengalaman sama mereka?" Hmm, bukan perkara berkenan atau nggak, tapi layak gak sih? Itu poinnya. Iya saya Certified untuk parenting khususnya ranah Pendidikan Aqil Baligh, Remagogi dan Fitrah Based Life-Education. Pernah nulis satu buku parenting, beberapa kali juga diminta jadi pembicara seputar topik tersebut. Cuma maksudnya kan masih banyak gitu lho mereka yang memang Psikolog, HRD dan profesi lainnya yang Psikologi banget plus pastinya magister. Tapi karena dibilang untuk sekadar cerita kenapa dulu ambil Psikologi, impact-nya un...