Berasa muda belia lagi gak sih ketemu para maba kinyis-kinyis begini? Hahaha, syukur keburu sadar, kalo saya mungkin banget seumuran mama-mama mereka.
Ini smua dimulai dari wa Mba Prihatiningsih Mb 1-2 pekan yang lalu. Katanya puteri beliau sama teman-temannya dapet tugas kuliah, nyari narsum untuk diwawancarai. Syaratnya, lulusan Psikologi yang sekarang berkecimpung di bidang tersebut.
"Mba Pritha, berkenan ya jadi narsum dan berbagi pengalaman sama mereka?"
Hmm, bukan perkara berkenan atau nggak, tapi layak gak sih? Itu poinnya.
Iya saya Certified untuk parenting khususnya ranah Pendidikan Aqil Baligh, Remagogi dan Fitrah Based Life-Education. Pernah nulis satu buku parenting, beberapa kali juga diminta jadi pembicara seputar topik tersebut. Cuma maksudnya kan masih banyak gitu lho mereka yang memang Psikolog, HRD dan profesi lainnya yang Psikologi banget plus pastinya magister.
Tapi karena dibilang untuk sekadar cerita kenapa dulu ambil Psikologi, impact-nya untuk kehidupan diri, keluarga dan masyarakat sekarang apa? Dan semacamnya gitu lah. Ok lah saya bersedia. Kami pun janjian di satu cafe daerah Cibinong. Yang deket aja, maklum emak-emak waktunya kejar-kejaran sama jemput bocil sekolah.
Sebelum ketemu, saya malah sibuk bayangin, kaya apa mahasiswa Psikologi genzi? Biasanya kan jurusan ini relatif sweet. Soalnya kalo saya dulu, dari semester awal dosen udah menanamkan baju yang pantas dipakai, make up ga boleh menor, aksesoris secukupnya, gak boleh terlalu seksi (oya saya kuliah di Univ Kristen, mahasiswi jurusan lain suka ada yg kuliah pake baju pas badan atau you can see).
Dan taraa ... bener dong, para mahasiswi itu sweet smua. Sopan pula. Hilang seketika bayangan tentang tipikal genzi yang negatif.
Mereka tuh keliatan grogi banget. Saya mencoba untuk mencairkan suasana, biar rileks dan pesan yang disampaikan masuk.
Kami ngobrol tentang kisah kuliah saya dulu, dibandingkan dengan sekarang. Ah masih sama, jurusan ini masih didominasi sama perempuan. Dan sejak semester satu pertanyaan klasik itu masih ada, "Psikologi? Bisa baca muka aku dong?
Dih, dipikir cenayang?
Ditanya, apa yang bikin saya memutuskan terjun ke parenting? Ya saya bilang, basic sertifikasi saya pas kuliah itu Bimbingan Konseling. Kuliah matrikulasi 1 semester, praktek di salah satu SD swasta di Bandung. Abis itu saya juga pernah mengalami baby blues, yang bikin kesombongan runtuh. Ya iyalah, kirain sebagai S.Psi saya bakalan bisa handle anak sendiri, kirain bekalnya udah cukup. Ternyata ngadepin anak pertama kolik, dah kelar smuanya.
Ya gitu-gitu lah. Sampai akhirnya saya ditanya, apa pesan untuk mereka, para mahasiswa Psikologi sekaligus calon Psikolog atau ilmuwan Psikologi di masa yang akan datang?
Teknologi!
Perkembangan AI semakin cepat. Akan ada banyak pengaruhnya dalam kehidupan. Ada orang yang nggak mau susah, apa-apa ngandelin AI, terutama untuk urusan pendidikan dan pekerjaan. Mereka ini mental instan. Enggak terbiasa berjuang, karakternya lembek. Ditegur, marah.
Lalu, self-diagnose.
Dulu orang dateng ke Psikolog, with no clue. Sekarang, sebelum tes atau pemeriksaan, mereka akan lebih dulu bilang introvert, trauma, anxiety, inner child, OCD, bipolar dan lain-lain. Derasnya arus informasi bikin orang gampang tau istilah itu dan menyematkannya sembarangan, asal ada satu-dua gejala yang serupa.
Yang terakhir, tanpa bermaksud pick-me, saya ingatkan mereka bahwa ini jurusan yang harus extra hati-hati dengan ucapan. Kalau kerja di bidang teknik misalnya. Ucapan kita nggak baik, paling parah di-PHK. Tapi kalo seorang Psikolog ngomong gak baik ke klien, gak usah salah diagnosa. Ngomongnya nyakitin aja, daya rusaknya bisa berlipat. Jadi tuluslah. Kalau nggak sanggup, tolak klien. Jangan memaksakan diri. Mental health kita harus prima untuk bisa menampung permasalahan orang lain.
Semoga smua itu bermanfaat, termasuk buat temen-temen yang ikutan baca.
Salam hangat,
Pritha Khalida 🌷
Comments
Post a Comment